Senin, 27 Juni 2011

Munir; Masih Ada !

6 tahun dibunuh, 6 tahun tampa keadilan, 6 tahun kami tidak “LUPA”

 Oleh Ananto Setiawan

 
“…Segelintir angin berhembus dari bebatuan, menabrak gunung, menabrak lautan
Laksana bara api dari kawah berduri, yang apinya tak pernah padam
Tak pernah padam
Meskipun darah mengering, mata pena berkarat,
puing-puing telah kembali merata dengan tanah.
Namun api itu tak pernah padam
Tak pernah padam !!!..”
Indonesia, sebuah negri yang seakan memiliki penyakit kronis yang sangat akut. Penyakit kronis yang sebenarnya hanya bisa diobati dengan keteguhan hati untuk mengakui catatan sejarahnya yang hitam, penyakit ini yang biasa kita sebut dengan “LUPA”. Penyakitnya para kaum telangas dan penguasa pengecut yang selalu bersembunyi dibalik ketiak kekuasaan, mencari suaka diri agar aman berebut  jatah kursi di pemilu nanti.Penyakit yang menyuntik otak rakyat kecil dengan serangkaian ritual kekerasan, yang terus-menerus di daur ulang dari masa ke masa, waktu ke waktu, generasi ke generasi, kemudian  menjadikan kebenaran tak lebih dari hanya sebuah pembenaran, sehingga “LUPA” menjadi sesuatu hal yang konstitusional. Kerlap-kerlip reformasi yang datang di akhir tahun’98 pun tak ubahnya seperti kunang-kunang yang menghiasi sudut jalan yang diselimuti kegelapan, cahayanya kadang redup, kadang tenggelam termakan jilatan malam. Wajah-wajah yang dulu sumeringah kini pucat pasi menanti kepastian yang tiada pasti.

Ditengah penyakit ke”LUPA”annya ini sebenarnya Indonesia masih memiliki beberapa anak negri yang mendedikasikan hidupnya, jiwa, raga, dan pemikiran mereka untuk melawan dan mengobati penyakit “LUPA’ tersebut. Namun satu per satu dari mereka akhirnya ikut di”LUPA”kan dan sengaja di”LUPA’kan oleh penguasa negrinya yang takut jika penyakit lupa tersebut tersembuhkan, maka itu artinya mereka harus hidup dan meratapi kesalahan mereka dibalik sel jeruji besi. Munir pun akhirnya ikut di”LUPA”kan. Munir yang kala itu sangat gelisah melihat terlalu banyaknya ke”LUPA”an yang diderita bangsanya mulai berteriak, Munir muda pun memulai perjuangannya. Perjuangannya yang mulia untuk kembali megingatkan penguasa negrinya untuk “ingat” bahwa rakyatnya sudah bosan dengan kekerasan, bahwa rakyat negri ini masih ingat tak kala ayah mereka, suami-suami mereka, kakak-kakak mereka dilenyapkan dan coba untuk di“LUPA”kan oleh penguasa busuk negri ini.

Rezim militeristik yang dibangun dengan skema-skema kekerasan tak ubahnya sebuah mesin pengiling yang terus melibas rakyat kecil dan mereka yang coba melawannya, menolak untuk patuh, tak pelak ikut digilas, bahkan bangkainya pun sulit untuk ditemukan. Munir muda dengan kegelisahannya, membawa ia kedalam perjuangan tampa akhir, menyuarakan perjuangan hak-hak asasi dan demokrasi yang sudah lama di cita-citakan oleh seluruh rakyat negrinya. Dengan pengetahuaanya di bidang hukum yang ia timba dari bangku-bangku tempatnya belajar, ia mencoba bangkit untuk mencari keadilan yang selama ini ikut digilas oleh penguasa rezim saat itu. Perjuangan dan aktivitas itulah yang kerap memaksa Munir bersentuhan langsung dengan keganasan rezim militeristik dan serangkaian ritual kekerasan yang menyertainya. Namun dengan langkahnya yang pasti ia berada dalam deret paling depan perjuangan anak bangsa untuk perubahan dinegrinya.

Pada awal pergerakannya saat ia duduk dibangku belajar (Universitas Brawijaya - Malang), Munir lebih aktif diorganisasi-organisasi Islam serta Himpinan Mahasiswa Islam dan Al’Irsyad. Hal ini disebabkan Munir sendiri terlahir dan dibesarkan oleh keluarga keturunan Arab. Akan tetapi Munir muda dengan kegelisahannya telah membawa pikirannya jauh lebih panjang lintas-batas, dan universal. Ia yakin bahwa Hak Asasi Manusia telah melekat kepada diri setiap individu manusia tanpa bisa dikurangi atau diper-bedakan menurut rasial, gender, etnis, agama. Hal ini menjadi sangat penting ketika kita kembali menyadari bahwa Indonesia yang kita miliki saat ini adalah Indonesia yang terdiri dari begitu banyak keberagaman didalamnya. Melalui pemikirannya ini Munir mampu menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada, dan membuat seorang Munir muda mampu menjadi pendamping bagi setiap golongan tanpa memandang latar belakangnya. Maka tak salah jika dalam tulisannya, DR Ahmad Syafii Maarif  menyebut Munir sebagai “Duta Universalitas Islam di Indonesia”.

Setelah lulus dari bangku belajarnya, Munir sempat mencoba beberapa bidang pekerjaan. Namun akhirnya ia mengawali kariernya sebagai volunter Lembaga Bantuan Hukum(LBH) Surabaya pada tahun 1989. Di kotanya malang, saat itu seorang Munir muda sudah terbiasa berhadapan dengan militer -kelompok yang paling menentukan politik perburuhan Indonesia- saat ia tugas-tugas pembelaan terhadap kaum buruh pada sebuah kantong industri di kota malang. Bahkan ia tak hanya melakukan pembelaan terhadap kaum buruh disana, ia juga kerap kali menjadi korban dari militerime politik perburuhan itu sendiri. Kemudian pegeserannya ke kota Surabaya membawa munir ketugasnya yang lebih besar, saat itu ia melakukan pembelaan terhadap sebuah kasus perburuhan terpenting, yaitu pembunuhan Marsinah (1994). Sebuah kasus pembunuhan seorang aktivis buruh yang terjadi tahun 1994, dan menjadi sebuah kasus pembunuhan besar tahun itu. Di Jakarta Munir duduk di kepengurusan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(YLBHI), dan bersama teman-teman aktivisnya mendirikan KontraS(Komisi Untuk orang Hilang dan Korban Kekerasan), disini ia langsung berhadapan lagi dengan kasus 27 Juli 1996 dan serangkaiaan kasus-kasus besar lainnya yang juga berkaitan dengan operasi militer, oleh karna itu tak heran jika kemudian memiliki ikatan historis yang kuat dengan militerisme.

Dalam kepengelihatan Munir, militerisme tak ubahnya seperti momok yang paling menakutkan bagi rakyat Indonesia, ia-(militerisme)- tak lebih merupakan alat yang dijadikan mesin penghancur pemikiran-pemikiran dan keberanian-keberanian rakyat untuk menagih hak-haknya kepada negara dan penguasa-penguasanya yang rakus. Hal ini membuat Munir mendapatkan respon negatif dari beberapa petinggi-petinggi militer yang merasa terganggu oleh aktivitas dan pemikirannya Munir, terutama dari mereka-mereka yang kasusnya ditangani oleh Munir. Mereka berusaha membungkam munir, mulai dari terror-terror yang ditujukan kepada Munir dan juga keluarganya, hingga pemfitnahan-pemfitnahan dan segala tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya. Namun usaha tersebut ternyata sia-sia, Munir tak mau diam dan membungkam, Munir dan segala kegelisahan-kegelisahannya tak kuasa menutup mata melihat segala kekerasan, penindasan dan, penghisapan yang dilakukan oleh penguasa negri ini terhadap rakyat-rakyatnya. Keberanian Munir tak surut, ia tetap berdiri dibarisan paling depan menyuarakan perjuangan hak asasi dan demokrasi untuk negri yang dicintainya. Munir tak kenal takut, ia percaya bahwa apabila kita terus memelihara rasa takut, maka ketakutan-ketakutan itulah yang nantinya akan melemahkan akal sehat kita.

Berkat keberanian dan kerja kerasnya, pada tahun 2000 majalah Asia Weak memberikan penghargaan kepada Munir sebagai Leaders For The Millenium, dengan pertimbangannya Munir telah berhasil secara signifikan mempengaruhi politik militer Indonesia di masa transisi. Munir juga memperoleh penghargaan The Rights Livelihood Award oleh sebuah yayasan internasional yang berbasis di swedia pada tahun 2000, dengan pertimbangan atas keberanian dan dedikasi Munir memperjuangkan hak asasi dan kontrol sipil atas militer di Indonesia. Penghargaan ini dianggap sebagai sebuah alternatif penghargaan nobel. Munir telah memberikan inspirasi kepada setiap orang bahwa kebenaran akan selalu ada, dan kebenaran itu adalah milik kita, maka tak ada yang boleh merampas itu dari kita !!!

Di tengah kegalauan politik’98, Munir masuk dengan kemampuannya mengartikulasikan tema HAM menjadi bahasa politik yang simple dan popular dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Keberanian dan kegesitannya memberikan sebuah harapan baru bagi para korban dan keluarga korban akan masalah mereka, akhirnya berbondong-bondong mereka mulai berani mengadukan masalahnya guna mendapatkan bantuan hukum. Munir bersama teman-temannya sesama aktivis mendapat kepercayaan untuk mengadvokasi banyak kasus pada saat itu,antara lain; kasus penghilangan paksa aktivis ’98, kasus penembakan mahasiswa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, tragedy Mei ’98, tragedy Tanjung Priuk  1984, tragedy Talangsari 1989, dan lain sebagainya. Diluar itu Munir juga menangani beberapa kasus berat lainnya, seperti; kasus Timor Timur pasca referendum 1999, DOM di Aceh dan Papua, kerusuhan di Kalimantan, Maluku dan Poso. Semua  kasus ini di golongkan sebagai kasus berat karena melibatkan kalangan perwira tinggi militer di Indonesia.

Disepanjang hidupnya Munir hanya mengenal seorang wanita yang kemudian dinikahinya pada tahun 1995, Suciwati. Bersama Suciwati, Munir mendapatkan penghargaan sebagai seorang ayah, ia di anugerahi 2 orang buah hati. Sebagai seorang ayah, Munir adalah sosok seorang ayah yang berani dan sederhana. Keluarganya sangat mencintai Munir, kesederhanaannya menjadikan contoh yang baik pada kedua buah hatinya. Barulah pada akhir hidupnya ia memiliki niat dan kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuaanya dengan belajar di luar negri. Ia memutuskan menempuh studi master dalam bidang international protection of human rights di Utrecht universiteit, Belanda.

Pada kesempatan ini seharusnya digunakan Munir untuk merefleksikan perjuangan-perjuangannya selama ini. Namun belum sempat niatnya itu terwujud, belum sempat ia memanfatkan kesempatan yang ia dapatkan, Munir menghembuskan nafasnya pada 7 september 2004. Munir menghembuskan nafas terakhirnya di pesawat Garuda yang seharusnya menghantarkannya ke negri Belanda, Munir di bunuh di atas pesawat GA-974, 2 jam setelah takeoff dari Singapura menuju Schipol, Belanda. Tangan-tangan kejam telah merenggut segala cita-cita Munir, merenggut segala cita-cita keluarganya, merenggut segala cita-cita setiap korban yang kasusnya ditangani Munir, merenggut segala cita-cita rakyat Indonesia. Keluarganya yang masih kecilpun harus kehilangan sosok seorang ayah yang sederhana dan sangat dicintainya, bangsa Indonesia harus kehilangan lagi seorang putra terbaik bangsa yang berani tak kenal rasa takut.  Keberanian seorang Munir untuk menegakan kembali keadilan dan keyakinannya akan kebenaraan, harus ia bayar dengan racun arsenik yang menyarang ditubuhnya dan meminta nyawanya.

Pada tanggal 12 September dikeluarkan kabar dari kepolisian Belanda bahwa mereka menemukan senyawa arsenikum di hasil otopsi Munir = MUNIR DIRACUN !!!, berbagai dugaan mengenai kasus pembunuhan terhadap Munir pun mulai bermunculan, namun jelas sekali bahwa ada aroma-aroma konspirasi di balik kematian Munir. Ada yang tidak suka dengan aktivitas munir selama ini, mereka yang merasa terganggu oleh kinerja Munir selama melakukan kerja-kerja advokasinya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu memberikan rasa keprihatinannya yang sangat dalam atas kasus kematian Munir, bahkan ia sempat berjanji untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir. Untuk menunjukan keseriusannya Presiden langsung membentuk dan menugaskan Tim Pencari Fakta(TPF) untuk kasus pembunuhan Munir, beberapa fakta-fakta baru pun mulai didapatkan, kejelasan mulai nampak pada kasus Munir. Beberapa namapun diduga keras berkaitan dengan kasus ini. Sebenarnya pengungkapan kasus munir adalah momentum untuk melakukan perubahan dalam penegakan hukum dan keadilan bagi bangsa Indonesia.

Dengan bekal fakta-fakta yang ada, pengadilan untuk kasus munirpun digelar. Dan pada 20 Desember 2005 Phollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh racun arsenik pada makanan munir. Hakim juga mengatakan sebelum pembunuhan Munir tejadi pollycarpus menerima beberapa panggilan telefon dari nomor telefon yang terdaftar sebagai seorang agen intelejen senior, namun tidak diberikan keterangan lebih lanjut mengenai siapa perwira itu. Selain itu TPF yang dibentuk Presidenpun tak pernah menerbitkan hasil penyelidikan mereka ke publik. Sampai akhirnya pada tanggal 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi PR, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan wakil ketua umum partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir, beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun setelah beberapa bulan persidangan, akhirnya pada tanggal 31 Desember 2008 majelis hakim PN Jakarta-Selatan memberikan vonis bebas kepada Muchdi PR.

Vonis hakim PN Jakarta-Selatan ini dinilai sangatlah Kontroversial melihat beberapa kesaksian-kesaksian yang ada, juga bukti-bukti yang memberatkan Muchdi PR, bagaimana mungkin majelis hakim dapat memvonis bebaskan Muchdi PR. Apakah mungkin seorang pollycarpus yang tidak berkepentingan menjadi otak dari pembunuhan Munir. Melihat trackrecord Munir yang banyak memiliki musuh dari kalangan militer, juga fakta dan data-data yang telah didapatkan, jelas sulit ditampikan bahwa pollycarpus tidak bekerja sendirian, ada orang yang lebih memiliki kepentingan atas kematian Munir. Sampai hari ini rakayat Indonesia masih belum tau siapa dalang dibalik pembunuhan Munir. Pemerintah seakan tak mau perduli dengan kasus ini, dan kembali “Lupa” akan janji mereka untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Lagi-lagi pemerintah melakukan kejahatan, kejahatan atas pembiaran. Kemudian berharap bahwa kita juga akan “Lupa” bahwa Munir seorang pembela HAM, yang dibunuh diatas pesawat Garuda, dan tanpa keadilan hingga hari ini. Namun lagi-lagi usaha mereka itu berbuah sia-sia, “KAMI MENOLAK LUPA !!!”.

Kami menolak untuk lupa bahwa Munirlah yang menebarkan harapan-harapan baru pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia, kami menolak untuk lupa bahwa Munirlah yang dengan sangat berani berdiri dalam barisan paling depan perjuangan untuk perubahan, kami menolak lupa bahwa Munir dibunuh karna benar !  Mungkin Munir telah pergi menghadap sang penciptanya, namun semangat ini masih ada dalam hati setiap pribadi yang mendambakan perubahan, Munir Masih Ada dipikiran setiap orang yang percaya dan yakin bahwa kebenaran pasti akan menang. Meski api itu kini telah padam, namun bara itu tetap menyala, menghangatkan setiap inch jengkal perjuangan menuju perubahan. Disini, dinegri ini, akan lahir Munir-Munir lainnya, dengan satu tekad, “Kebenaran Pasti Akan Menang !!!”.
Penulis adalah jurnalis The Forgotten Journal 








3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Terimakasi suda ingatkan kami untuk tidak melupakan Munir. Semoga ingngatan akan munir mampu melahirkan munir-munir baru yang dengan gagah dan berani mengatakan Hak Asasi Manusia tidak mengenal Batas negara, Stempel Ras, Suku maupun agama. Ia adalah satu-satunya hak kodrati yang diberikan tuhan kepada manusia semenjak ia dilahirkan sebagai manusia.

    BalasHapus
  3. Dengan melupakan munir, kita membiarkan kejadiaan yang sama terjadi kembali. Jangan lupakan munir.

    BalasHapus