Refuse to Forget Project

Menolak Lupa !!!

Kamis, 14 November 2013

Membedakan Rezim Fasis dengan Represif: Bagian 2 (Akhir) – Rezim Fasis dan Represif di Indonesia

Sebelumnya kita telah membahas secara mendetail baik secara kebahasaan maupun melalui analisis ekonomi politik untuk mendefinisikan ciri-ciri fasisme dan bagaimana kebangkitannya hingga keberhasilannya merebut kekuasaan. Kali ini pembahasan kita akan difokuskan dengan menggunakan analisis ekonomi politik. Sekali lagi alasan mengapa fasisme bisa bangkit dan berkuasa dibagi ke dalam dua faktor, faktor subyektif (internal) dan faktor obyektif (eksternal). Faktor obyektif meliputi 1) terjadinya krisis kapitalisme, 2) kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar namun juga terhadap demokrasi, 3) serta kegagalan perjuangan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Sedangkan faktor subyektif terdiri atas 1) basis massa fasisme yang bertopang pada kelas borjuis kecil dan lumpen proletar serta pandangan kelas fasisme yang menentang perjuangan kelas dan menggantinya dengan kolaborasi kelas, 2) sistem ekonomi fasisme yang tidak anti kapitalisme melainkan menopang kapitalisme negara, 3) praktek politik fasisme (anti demokrasi, anti oposisi), 4) serta pandangan sosial-kebudayaannya yang membangun kultus (pemujaan) individu, membangun kultus (pemujaan) maskulinitas, berorientasi SARA (baik secara chauvinis maupun secara diskriminatif), serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu.

Dengan demikian tidak semua rezim represif atau kediktatoran bisa disebut fasis. Marilah kita tengok contoh-contoh kediktatoran dari beberapa rezim di negara-negara seperti Mesir, Saudi Arabia, dan Korea Utara. Rezim Gamal Abdul Nasser di Mesir bukan rezim fasis. Rezim itu adalah rezim Bonapartis. Sama dengan rezim Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin. Rezim Saudi Arabia bukan pula rezim fasis. Saudi Arabia adalah rezim neo-feodal. Bagaimana dengan Korea Utara? Korea Utara juga bukan rezim fasis. Meskipun mengaku dan sering dilabeli berbagai pihak sebagai negara komunis, Korea Utara sesungguhnya adalah rezim monarki absolut. Begitulah label dan kenyataan seringkali memang tidak singkron tapi kita disini bukan untuk membahas negara-negara tersebut, kita disini untuk membahas Indonesia. Khususnya untuk menjawab pertanyaan, benarkah rezim SBY adalah rezim fasis seperti rezim Soeharto dan Orde Barunya?

Membedakan Rezim Fasis dengan Represif Bag. 1: Ciri-Ciri Fasisme

Istilah atau sebutan “fasis” merupakan istilah yang sangat sering terdistorsi dalam sejarah manusia. Setidaknya “fasis” menduduki peringkat kedua paling tedistorsi setelah label “anarkis” yang dengan salah kaprah diartikan sebagai tindak kekerasan. Fasisme sering dilabelkan ke berbagai kalangan mulai kepada kalangan konservatif, sosialis, komunis, trotsykis, katolik, penentang perang, pendukung perang, sampai kepada kalangan nasionalis. Bahkan tidak sedikit yang menyematkan label fasis kepada rezim Susilo Bambang Yudhono (SBY) saat ini.[1]

Benarkah rezim SBY adalah rezim fasis? Masalahnya adalah bisakah setiap rezim atau kelompok yang otoriter begitu saja dilabeli sebagai fasis? Sebelum kita menilai benar tidaknya dan tepat tidaknya definisi dan penyematan fasis kepada rezim SBY maka perlu kita cari perbandingan definisi mengenai fasisme terlebih dahulu untuk mencari pemahaman bersama mengenai apa itu fasisme. Disini kita akan mencari pendefinisian melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah pendefinisian fasisme menurut pengertian dalam kebahasaan secara harafiah atau dengan mengacu pada kamus.Tahap kedua adalah pendefinisian fasisme menurut mereka yang menggolongkan diri sebagai fasis atau penganut fasisme. Serta tahap ketiga, yaitu pendefinisian fasisme melalui analisis ekonomi-politik yang diletakkan dalam konteks sosio-historis.

Fasisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai Prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem yg menganjurkan pemerintahan otoriter. Sedangkan menurut Kamus Oxford, fasisme adalah extreme totalitarian right-wing nationalist movement atau bisa diterjemahkan sebagai gerakan nasionalis sayap kanan totaliter ekstrim. Kedua kamus tersebut mencantumkan kesamaan ciri fasisme sebagai nasionalisme ekstrim dengan disertai kesewenang-wenangan. (Otoriter menurut KBBI adalah “berkuasa sendiri dan sewenang-wenang” sedangkan totaliter adalah “bersangkutan dengan pemerintah yang menindas hak pribadi dan mengawasi segala aspek kehidupan warga negaranya.”) Dibandingkan dengan definisi kedua kamus tersebut, definisi fasisme secara lebih komprehensif bisa ditemukan di ensiklopedia dalam jaringan, Wikipedia.

Jumat, 14 Desember 2012

Munir dan Reformasi Militer

Oleh Al araf

Pada 7 September 2004, derap kaki Munir—sang pejuang HAM—terhenti untuk selama-lamanya di dalam pesawat milik maskapai kebanggaan kita: Garuda Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2004 dan perdebatan RUU TNI, Cak Munir—begitu panggilan akrabnya—dibunuh secara kejam dan sistematis dengan menggunakan racun arsenik. Hingga kini pengungkapan kasus Munir masih menghadapi jalan buntu.

Sedari awal, pengungkapan kasus Munir sudah melalui jalan yang berkelok dan penuh keganjilan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terlihat setengah hati dalam mengungkap kasus Munir. Pada awalnya, Presiden SBY tegas menyatakan pengungkapan kasus Munir sebagai test of our history yang kemudian diikuti dengan pembentukan tim pencari fakta (TPF) melalui keputusan presiden. Langkah ini tentu disambut baik banyak kalangan. Namun, dalam perjalanannya, langkah pemerintahan SBY dipenuhi kegamangan dan keragu-raguan.

Presiden SBY tidak berbuat apa-apa ketika Muchdi PR diputus bebas di tingkat Mahkamah Agung. Padahal, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir sudah mendesak Presiden untuk memerintahkan Jaksa Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan bebas itu sebagai wujud nyata keseriusan pemerintah.

Pembunuhan terhadap Munir jelas bukan pembunuhan biasa sehingga penyelesaiannya tidak bisa dilepas begitu saja oleh Presiden. Pengungkapan kasus ini membutuhkan sebuah kemauan, kesungguhan, dan konsistensi politik Presiden yang sangat tinggi. Mungkin dugaan keterlibatan pihak-pihak dalam lembaga intelijen negara menjadi penyebab kegamangan SBY sehingga kesulitan menemukan aktor di belakang layar kasus pembunuhan Munir.

Sabtu, 18 Februari 2012

Mengingat Malari, Merawat Demonstrasi

Oleh : Fathor Rahman MD.
Barangkali sudah nyaris dilupakan, tragedi memilukan 15 Januari 1974. 34 tahun yang lalu, Ibu Kota gaduh riuh. Darah berceceran dimana-mana, sedikitnya 11 orang ditemukan tak bernyawa, 300 orang mengalami luka-luka. Sekitar 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar serta 144 bangunan dirusak. Dan 775 orang ditangkapi aparat. Itu belum lagi korban kerugian material lainnya. Peristiwa itu hingga sekarang dikenang dengan sebutan tragedi Malari.

Hingga saat ini akar masalah tragedi Malari masih menjadi kontroversi. Bagi kalangan pengamat peristiwa tersebut dipandang sebagai resistensi masyarakat terhadap sikap pemerintahan Jepang yang hendak melakukan diplomasi ekonomi dengan Indonesia. Dari analisis sejarah, menurut Asvi Warman Adam (2003), waktu itu pada tanggal 14-17 Januari 1974 Indonesia dikunjungi oleh Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, yang agendanya adalah membuka pintu diplomasi investasi modal. Sehingga masyarakat terpicu untuk turun jalan.

Namun dilain pihak, menurut versi pemerintah waktu itu, tindakan massa dianggap sebagai kerusuhan yang telah mencoreng muka bangsa Indonesia di depan tamu. Sehingga kekuatan militer yang merupakan "anjing penjaga istana" waktu itu, bertindak galak terhadap para demonstran. Para demonstran juga dianggap mengganggu stabilitas keamanan, sehingga perlu diamankan. Akibatnya para demonstran semakin tak terkendali. Sikap pemerintah dengan kekuatan militernya semakin memicu amarah massa.

Jumat, 03 Februari 2012

Tragedi Semanggi, Siapa Pembunuh Sebenarnya?

Kami pantang menyerah sebelum pembunuh yang sebenarnya terungkap, " ujar Sumarsih, ibu dari Wawan, atau lengkapnya Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, salah satu mahasiswa korban penembakan dalam kasus Semanggi Berdarah, 13 November 1998. Kata-kata tersebut dilontarkan dalam peringatan 9 tahun peristiwa Semanggi, Mei 2007 lalu dan hingga memasuki tahun ke 12 peristiwa tersebut, Ibu Sumarsih nampak masih tegar dengan tuntutannya, wajahnya nampak masih menyimpan duka saat ditemui di Unika Atmajaya, 12 tahun setelah kepergian putranya. 
Tragedi Berdarah

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.

Rabu, 01 Februari 2012

Petrus: Terapi Kejut Sang Presiden


Dalam sejarah Indonesia dimasa Orde Baru, Militer secara tersembunyi pernah menyatakan perang terhadap kejahatan, yang semestinya merupakan urusan polisi dan lembaga-lembaga peradilan. Pernyataan itu muncul dalam bentuk pembinasaan para pelaku atau yang disangka sebagai palaku. Tindakan kejahatan pembinasaan tersembunyi ini berlangsung dari awal 1983 hingga awal 1985, dan konon menelan lebih dari 10.000 jiwa. Peristiwa ini  kemudian lazim disebut dengan Pertrus atau Penembakan misterius.

Jip Misterius di Jembatan …….

Suatu malam pertengahan Juni 1983, sebuah jip berwarna gelap berhenti di tengah jembatan Sungai Cimedang, sekitar 70 km sebelah timur Tasikmalaya, yang membatasi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa penduduk yang sedang meronda melihat kendaraan tersebut berhenti sebentar di tengah jembatan, berputar, lalu ngebut kembali ke timur, arah semula jip itu datang.

Peristiwa itu nyaris tak menarik perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah. Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi. Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya sekitar 18 km dari jembatan Cimedang. 

Senin, 30 Januari 2012

Merawat Ingatan Mengenang Tragedi Simpang KKA

Oleh Taufik Al Mubarak

Tanggal 3 Mei punya banyak makna bagi warga Aceh Utara, dan juga bagi masyarakat Aceh pada umumnya. Tanggal tersebut selain bermakna resistensi atau perlawanan rakyat melawan negara, juga sebuah kenangan buruk, betapa negara begitu semena-mena terhadap rakyatnya. Karenanya, saban tahun—meski tak rutin karena kondisi Aceh tak selalu kondusif untuk mengenang tragedi—warga Aceh Utara khususnya para korban tragedi Simpang KKA memperingatinya.

Sekedar merawat ingatan, Senin, 3 Mei 1999 atau sembilan tahun silam, banyak darah berceceran di sekitar simpang PT KKA. Jeritan dan tangisan para korban memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar. Saat itu, harga peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung.

Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka parah, sementara 40 orang lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat kanak-kanak, termasuk Saddam Husein (7 tahun) menjadi korban kebuasan aparat negara.