Sabtu, 18 Februari 2012

Mengingat Malari, Merawat Demonstrasi

Oleh : Fathor Rahman MD.
Barangkali sudah nyaris dilupakan, tragedi memilukan 15 Januari 1974. 34 tahun yang lalu, Ibu Kota gaduh riuh. Darah berceceran dimana-mana, sedikitnya 11 orang ditemukan tak bernyawa, 300 orang mengalami luka-luka. Sekitar 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar serta 144 bangunan dirusak. Dan 775 orang ditangkapi aparat. Itu belum lagi korban kerugian material lainnya. Peristiwa itu hingga sekarang dikenang dengan sebutan tragedi Malari.

Hingga saat ini akar masalah tragedi Malari masih menjadi kontroversi. Bagi kalangan pengamat peristiwa tersebut dipandang sebagai resistensi masyarakat terhadap sikap pemerintahan Jepang yang hendak melakukan diplomasi ekonomi dengan Indonesia. Dari analisis sejarah, menurut Asvi Warman Adam (2003), waktu itu pada tanggal 14-17 Januari 1974 Indonesia dikunjungi oleh Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, yang agendanya adalah membuka pintu diplomasi investasi modal. Sehingga masyarakat terpicu untuk turun jalan.

Namun dilain pihak, menurut versi pemerintah waktu itu, tindakan massa dianggap sebagai kerusuhan yang telah mencoreng muka bangsa Indonesia di depan tamu. Sehingga kekuatan militer yang merupakan "anjing penjaga istana" waktu itu, bertindak galak terhadap para demonstran. Para demonstran juga dianggap mengganggu stabilitas keamanan, sehingga perlu diamankan. Akibatnya para demonstran semakin tak terkendali. Sikap pemerintah dengan kekuatan militernya semakin memicu amarah massa.

Kalau diperbandingkan dengan peristiwa aksi massa setelah itu hingga sekarang, terkecuali peristiwa 1998. Aksi Malari merupakan tindakan massa yang cukup memiliki idealitas. Tragedi Malari meledak karena dipicu oleh situasi batin masyarakat. Mereka terkoordinasi oleh kesadaran yang dikontruk oleh realitas yang mereka rasakan sendiri. Mentalitas penguasa yang otoriter disadari betul sebagai persoalan bersama yang mesti dilawan. Sehingga ketika pemerintah ingin menerima tamu asing bekas kolonial serentak ditolak.

Waktu itu masyarakat datang secara tiba-tiba bergabung dengan aksi mahasiswa yang berada dibawah koordinasi Bung Hariman. Lebih tepatnya tragedi Malari merupakan luapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga tindakan massa tak bisa dikendalikan. Malari adalah sejarah idealitas demontrasi massa melawan pemerintah. Bukan sebuah aksi pesanan untuk melawan pemerintah oleh pihak-pihak tertentu. Seperti yang kerap kali kita saksikan akhir-akhir ini. Kelompok demonstran berfaksi-faksi.

Sekarang kita semakin jarang menemukan idealitas aksi massa seperti aksi Malari. Belakangan ini aksi massa yang kita temui justru kental dengan semangat pesanan dari pihak-pihak tertentu. Banyak masyarakat yang sengaja dibayar untuk melakukan demontrasi. Hal semacam itu bahkan sudah menjadi rahasia umum. Tidak hanya dilevel masyarakat umum, kalangan mahasiswa pun banyak yang terlibat dalam aksi-aksi pesanan. Para aktivis mahasiswa banyak yang kehilangan idealitas perjuangannya ketika disuguhi uang.

Ketika para aktivis sudah dikendalikan oleh uang, aksi turun jalan tidak lagi menarik dan ironis. Jadi maklum kalau banyak masyarakat antipati dengan munculnya aksi-aksi mahasiswa. Mereka sepertinya kurang simpati. Karena aksi mahasiswa tidak lebih dari sekedar sumber kemacetan lalu lintas. Masyarakat sudah mulai kritis terhadap aksi mahasiswa yang hanya pesanan. Sehingga masyarakat tidak tertarik bergabung dengan demontrasi mahasiswa. Berbeda dengan ketika Malari yang dikoordinasi Bung Hariman, masyarakat turut serta dalam aksi.

Krisis idealitas aksi demonstrasi merupakan sebuah kecemasan tersendiri bagi proses demokratisasi di negeri. Karena seiringan dengan itu pemerintah sepertinya mengalami semacam fobia terhadap demontrasi massa. Kita bisa menyimak bagaimana reaksi presiden ketika hangat-hangatnya kasus Century. Ekspresi massa yang membawa kerbau ke jalan saja ditanggapi serius. Belum lagi komentar-komentarnya bernada cemas ketika menghadapi rencana massa turun jalan ketika momentum seperti hari anti-korupsi se-dunia.

Sikap presiden itu justru menggambarkan, bahwa presiden kurang siap menerima kritik massa di jalanan. Hal itu ditakuti, tentu karena berkorelasi dengan pencitraan kepemimpinan yang dibangun. Semakin banyak bermunculan aksi massa di jalanan, citra sukses kepemimpinannya akan berkurang. Situasi demikian tidak jauh berbeda dengan era orde baru dibawah kepemimpinan almarhum Soeharto. Pemerintah tidak senang melihat massa turun jalan melakukan kritik. Sehingga pada waktu itu meledaklah tragedi Malari memilukan.

Sungguh ironis. Apalagi disisi lain masyarakat semakin pragmatis, enggan turun jalan tanpa dibayar. Sungguh tidak bisa dibayangkan, bagaimana masa depan demokratisasi di negeri ini. Aksi turun jalan merupakan salah satu penyangga tegaknya demokrasi di negara manapun. Kita tidak bisa sepenuhnya mempercayakan aspirasi kita kepada para wakil kita di parlemen. Karena sampai sekarang wakil rakyat di parlemen masih terlihat tidak serius mewakili rakyat. Perdebatan-perdebatan mereka jauh dari substansi persoalan yang dialami masyarakat.

Tentu kita belum lupa dengan kasus Century bukan? Sidang kasus Century yang selalu berlangsung alot dan menghabiskan banyak dana. Hingga sekarang hasilnya tidak pernah jelas. Dugaan uang triliunan yang digelapkan dalam kasus Century tidak pernah berhasil dibongkar. Seolah-olah para wakil rakyat kita cuci tangan setelah kasus tersebut masuk dalam proses hukum. Para wakil kita tidak memiliki kesanggupan mengawal hingga tuntas. Banyak dugaan macetnya kasus Century karena telah terjadi politik barter dengan ditandai munculnya Setgab.

Sedangkan masyarakat pun sudah amnesia, tidak pernah mau turun jalan menuntut penyelesaian kasus tersebut. Padahal tindakan turun jalan merupakan salah satu bentuk penyampaian aspirasi yang efektif. Orde baru runtuh karena massa dimana-mana turun jalan. Jakarta diserbu para demonstran dari berbagai daerah. Para demonstran adalah parlemen jalanan yang selalu menentukan arah perpolitikan di negeri ini.

Namun, sekarang kita sudah semakin sulit menemukan mereka (para parlemen jalanan). Karena masyarakat dan mahasiswa kehilangan idealitas, mereka tak mau turun jalan kalau tidak dibayar. Oleh karena itu, dengan mengingat kembali tragedi Malari, mungkin masyarakat dan mahasiswa bisa terbangun dan tergugah untuk menjadi parlemen jalanan meski tanpa dibayar. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar