Senin, 13 Juni 2011

Operasi Sajadah di Bumi Pasundan

Oleh Taufik Wijaya

TNI yang bertugas di sejumlah Kabupaten Jawa Barat mendapat tugas baru: mengurus masalah keyakinan. Pasca terbitnya Peraturan Gubernur tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah, tentara diperintahkan ikut mengawasi dan menyambangi masjid milik Jemaat Ahmadiyah. Bukan itu saja. Bak petugas statistik, mereka juga diminta mendata kaum Ahmadi. Di Kabupaten Garut bahkan ditemukan kasus aparat mempengaruhi penganut Ahmadiyah untuk pindah agama. Reporter KBR68H Taufik Wijaya merekam kegelisahan Jemaat Ahmadiyah di bumi Pasundan yang jadi sasaran ‘Operasi Sajadah’ dalam laporan berikut.

Ada Tentara di Kampung Ahmadiyah
 
Azan salat Jum'at berkumandang dari Masjid Al-Aqsa, Desa Tenjowaringin, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di ruangan masjid ukuran 9x9 meter ini ada 20 lebih orang berseragam hijau. Mereka anggota TNI dari Koramil 1222 Salawu, dipimpin Komandan Kusmana. Kapolsek Salawu, Sururi, juga ada di sini.

Kusmana membantah jika kunjungannya di perkampungan Ahmadiyah tersebut terkait Operasi Sajadah. Di Desa Tenjowaringin ini, 80 persen warganya adalah Ahmadiyah.

“Saya kaget ada Operasi Sajadah. Sajadah yang mana yang dioperasi? Operasi kan itu ada perencanaan, biaya, sasaran, target dan waktu. (Kehadiran TNI) kan hanya dikaitkan dengan pertahanan dan keamanan. Supaya tetap kondusif. Ini kan cuma silaturahmi”, kata Kusmana.

Operasi Sajadah dilontarkan kali pertama oleh Panglima Kodam III Siliwangi Moeldoko. Ia meminta aparat TNI bersama Majelis Ulama Indonesia, MUI dan warga setempat mengajak pengikut Jemaat Ahmadiyah ‘kembali’ ke ajaran Islam. Caranya beragam. Mulai dari menduduki masjid milik Ahmadiyah sampai mendata keberadaan mereka. Kata Moeldoko, ini untuk menindaklanjuti Peraturan Gubernur Jawa Barat soal larangan aktivitas Ahmadiyah.

“Kalau masjid Ahmadiyah itu bersifat eksklusif, ya kita serang saja. Kita duduki saja dengan sajadah. Kita sholat rame-rame. (Wah nanti mereka tidak mau masuk ke masjid Pak?) Ya satu kali, dua kali pak. Lama-lama mereka mau juga bergabung dengan kita. Keinginan saya setelah kita duduk di masjid Ahmadiyah dengan sajadah, siapa sih yang larang. Orang sholat saja kok dilarang-larang”, begitu perintah Moeldoko.

Masjid Al-Aqsa yang disambangi Komandan Koramil 1222 Salawu memang bukan milik Ahmadiyah. Tapi Kusmana tak menampik, tentara terlibat dalam pendataan penganut Ahmadiyah.

“Pendataan...rasanya kalau unsur keamanan dan pertahanan harus tahu dong. Berapa jiwa. Kan mereka bagian bangsa kita, harus dilindungi. Bapak ini tinggalnya di sini, oh bapak itu tinggalnya di sana. Takut-takut kalau ada gangguan. Itu sudah biasalah. Wajarlah’, lanjut sang komandan.

Ahmadi Didata, Ahmadi Terancam

Pengurus masjid Saep Effendi maju ke mimbar, bicara dalam Bahasa Sunda.

“Setelah didata hasil di kecamatan warga kami yang sudah "islah", yang biasa disebut mualaf. Dalam waktu dekat atas izin Allah pada Senin 21 Maret 2011, akan diadakan tatap muka rencananya dengan bapak Gubernur (Jawa Barat). Mobilisasinya akan disiapkan oleh Kapolres Tasikmalaya”, ucap Saep Effendi setelah ditejermahkan.

Data itu maksudnya data warga Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin dan Kutawaringin. Mereka yang ‘islah’, kata Saep, adalah mereka yang diklaim bertobat dan siap di-Islam-kan kembali.

Pengurus MUI desa, Aceng Zailani menyebut, penganut Ahmadiyah yang siap menanggalkan keyakinannya mencapai 70 orang. Selanjutnya, mereka akan dibina MUI. “Pembinaan yang keluar dari Ahmadiyah, dalam artian dibina jangan sampai yang sudah keluar dibiarkan begitu saja. Yang saya tahu akan dibina di daerah (Tasikmalaya)”, lanjut Aceng.

Saep dan Aceng mengunci mulut saat ditanya model pembinaan, juga tempat dan detail acara pertaubatan warga Ahmadiyah. Yang jelas kata mereka, kaum Ahmadi yang keluar dari keyakinannya tidak diancam atau dipaksa.

Ditemani seorang warga Dusun Sukasari, Reporter KBR68H Taufik Wijaya bertandang ke rumah warga, yang mengaku sudah keluar dari Ahmadiyah. Dari balik kamar, keluar seorang lelaki renta berpeci dan bercelana pendek. Sarung biru tersampir dibahunya. Rohidin, 82 tahun, menyambut KBR68H dengan bahasa Sunda. Ia mengaku keluar dari Ahmadiyah sejak dua bulan lalu. Tanpa paksaan.

Diancam atau tidak, yang jelas tak semua penganut Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin mau begitu saja keluar dari kepercayaannya. Kepala Desa Ihin Solihin mengaku mendengar ada warganya yang dipaksa menanggalkan keyakinan. Ihin bersikukuh bertahan. “Hal ini menyangkut keyakinan dan hak azasi yang paling dalam bagi saya. Ya saya akan menolak”, tegas Ihin Solihin.

Peraturan Gubernur Jawa Barat soal larangan aktivitas Ahmadiyah ditafsirkan begitu beragam oleh aparat keamanan, yang mendadak ikut campur di urusan keyakinan. Di Garut, warga Ahmadiyah juga tak lepas dari pendataan.

Ahmadi Garut Ikut Kena Getah

Di depan jalan utama Kota Garut, berdiri Masjid Nasir milik Jemaat Ahmadiyah. Letaknya agak tersembunyi, tertutup pagar besi hijau setinggi 5 meter. Masjid ini dihimpit rumah penduduk dan bangunan toko.

Tak ada papan informasi atau identitas nama masjid di bagian depan. Peraturan Gubernur Jawa Barat yang keluar awal Maret lalu, memang melarang pemasangan simbol-simbol terkait Ahmadiyah. Termasuk papan nama.

Untuk masuk ke masjid ini, pengunjung mesti lewat pintu belakang. Atas alasan keamanan, pintu ini kadang-kadang ditutup rapat dan dikunci.

Luas masjid ini lebih 100 meter persegi. Di dalam masjid, tepatnya dinding atas bagian kanan, dipasang spanduk hijau kalimat syahadat berbahasa Arab. Artinya: Tiada Tuhan Selain Allah, Nabi Muhammad Utusan Allah.

Jelang petang belasan Jemaat Ahmadiyah yang tinggal di sekitar Masjid Nasir, siap menjalankan salat Ashar. Tabik Allahu Akbar menggema dari dalam mesjid..

Sejak keluarnya Peraturan Gubernur tersebut, kebebasan ibadah Jemaat Ahmadiyah jadi terganggu. Pengajian kelompok yang biasanya rutin digelar, kini tak bisa lagi. Tindak tanduk mereka diawasi, kata ulama Ahmadiyah, Dedeng Mulyana.

“Kalau ancaman langsung tak ada. Tapi masjid di sekitar, yang terdengar dalam dakwahnya menyebut ‘Alhamdulilah Ahmadiyah telah dilarang’.Kemudian kita awasi gerak-geriknya kalau ada yang menyimpang kita laporkan kepada polisi. Itu suaranya terdengar di mana-mana. Karena pakai speaker masjid. Itu sering kita dengar seperti itu. Cacian dan hasutan kepada Ahmadiyah.Tapi kami biarkan saja”, kata Dedeng.

Di kota dodol ini, ratusan anggota Ahmadiyah berikut aset mereka, didata. Karena alasan keamanan, kata aparat. Ketua Jemaat Ahmadiyah di Garut, Cecep Ahmad Santosa.

“Kalau misalnya langsung ke pengurus ketika tak kami berikan ya (aparat) tak memaksa untuk data tsb. Meskipun di lapangan ada anggota (Ahmadiyah) misalnya ada beberapa anggota yang didatangi Koramil. Pendataannya misalnya nama, alamat, dan sebagainya”, kata Cecep.

Aparat pun tak sebatas mendata. Mereka juga membujuk anggota Ahmadiyah untuk ‘kembali’ ke Islam, meski orang Ahmadiyah tak pernah merasa keluar dari Islam. Untuk meyakinkan, aparat kerap membawa surat kabar lokal yang memberitakan sejumlah penganut Ahmadiyah telah menanggalkan keyakinannya.

Jemaat Ahmadiyah yang diklaim bertobat ada juga di Tarogong Kidul. Kiki Rosayati, 60 tahun, bercerita ketika rumahnya didatangi anggota TNI pada pertengahan Maret lalu. Kiki mengaku tak takut lantaran tentara yang datang berperilaku sopan.

“Katanya dari Koramil, dia menanyakan,’Betul ibu Ahmadiyah? ‘Ya betul,’kata ibu. Lalu dia bertanya ‘Kapan masuknya? Bagaimana di lingkungan sini? Ya ibu jawab seadanya. Katanya kalau mau “menurunkan label” ibu bisa saya jembatani. Tapi kalau ibu gak (mau), harus diketahui ibu itu Ahmadiyah. Ya saya ucapkan terima kasih,kalau mau dilindungi. Itu yang diharapkan”, cerita Kiki.

Kiki mengartikan “menurunkan label” yang disampaikan anggota TNI tersebut sebagai tawaran untuk pindah keyakinan. Kata Kiki, tentara itu juga menunjukan koran berisi kabar Ahmadi yang ‘kembali’ ke Islam. Maksudnya untuk membujuk.

Modus yang sama juga dilakukan di Kecamatan Tarogong, 3 kilometer dari tempat tinggal Kiki. TNI datang, mendata, sembari menunjukkan koran, kata Syafaat Supriatna. Syafaat bergeming.

“Jadi kedatangan bapak dari ABRI (TNI). Katanya sambil memperlihatkan berita di koran ada 4 rumah Jemaat (Ahmadiyah) di Bogor yang dirusak. Saya sikapi dengan positif, terima kasih. Kemudian dia menawarkan kalau mau syahadat lagi.Dia mau menjembatani”, kata Syafaat.

Komandan Kodim 0611 Garut, Edy Yusnandar mengakui ada pendataan itu. Ini bukan hal aneh, kilahnya.
“Pendataan itu tidak semata terkait dengan Ahmadiyah semata atau hal-hal yang insiden. Tetapi pendataan itu program kami sepanjang tahun. Sudah rutin memang, Itu dilakukan terus menerus. Bukan hal yang aneh, atau yang baru kita lakukan. Konteksnya untuk pembinaan teritorial, geografi,demografi dan kondisi sosial”, kata Edy.

Tapi bagi Jemaat Ahmadiyah pendataan yang dilakukan tentara sesuatu yang ganjil. Salah satu penganut Ahmadiyah Kota Garut, Hanayuda, “Banyak pihak yang mengatakan itu tidak baik. Kok TNI seperti itu? Mungkin karena tak ada garapan perang atau apa jadi larinya “ke sana” (tertawa). Kami menghargai bantahan dari pemimpin tentara”.

“Bahwa mereka tak melakukan itu. OK lah. Senantiasa Ahmadiyah itu meng-OK-kan saja. Sabar saja”, lanjut Hanayuda sambil tertawa.

Bagi Komnas HAM, alasan apa pun yang diajukan TNI untuk mendata, tak ada yang bisa dibenarkan. Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim mengatakan, ini melanggar HAM.

“Panglima TNI harus segera menghentikan atau menegur secara langsung Komandan Kodim yang di mana anak buahnya yang terlibat masuk ke urusan menjaga ketertiban umum itu”, kata Ifdhal.

Impian penganut Ahmadiyah seperti Dedeng dan Cecep tak muluk. Bebas dan aman menjalankan ibadah sesuai keyakinan.

“Ya kalau saya perhatikan dari pergub ini itu sama dengan memberangus kebebasan seseorang yang hidup di Indonesia. Kalau kita kembalikan ke UUD 1945 kebebasan berkeyakinan dan beragama betul betul dijamin”, kata Dedeng.

Sementara Cecep berharap pemerintah kembali lagi pada pilar NKRI, Pancasila, Kebhinekaan dan UUD 45. “Kembali lagi ke sana. Tidak hanya untuk Ahmadiyah”, tutup Cecep.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar