Jumat, 10 Juni 2011

Suciwati - Janda Aktivis HAM yang Luar Biasa


Suciwati sudah tahu kalau hidupnya tak bakal mudah bila ia menikah dengan Munir Said Thalib, aktivis hak azasi manusia, yang blak-blakan dan berkarisma.
Ia terkenal kerap mengkritik militer Indonesia, yang dianggap bertanggung jawab atas ribuan kematian dan penculikan warga sipil selama rezim Soeharto, yang berakhir ketika bekas pemimpin otoritarian itu mengundurkan diri pada 1998.
Beberapa tahun setelah Munir berupaya mengungkapkan segala kekejaman, ia punya banyak musuh.
Ia berusia 38 tahun ketika dibunuh, diracun dalam satu penerbangan ke Belanda.
Selama tujuh tahun sang isteri, Suciwati, pergi ke seluruh dunia menuntut supaya para perencana pembunuhan ini diadili.
Ia menjadi simbol ketidakmampuan Indonesia untuk menyelesaikan berbagai kasus pembunuhan demi para korban, dalam sejarah kelam negeri ini.
Rebecca Henschke bertemu dan berbincang dengan perempuan luar biasa itu di kampung halaman Munir di Malang, Jawa Timur.
Anak perempuan Suciwati, yang berusia delapan tahun, dengan bersemangat menceritakan hasil nilai ujian tengah semesternya.
Mereka sudah lama tidak bertemu sehingga harus banyak bercerita. Pasalnya ia baru saja kembali dari Belanda. Negeri itu baru saja menamakan salah satu jalannya dengan nama Munir.
Ia sering bepergian. Dan kerap melakukan perjalanan yang sama dengan suaminya ketika ia dibunuh.
“Setiap kali saya menginjakkan kaki, atau menuju ke arah Eropa tidak hanya ke Schipol, setiap kali perjalanan udara menuju ke Eropa, rasa sakit itu selalu ada. Orang yang saya cintai meninggal di udara di wilayah Eropa, dan itu tidak akan pernah hilang, karena ini sejarah hidup saya. Buat saya itu selalu berat, tapi itu harus dijalani. Ada yang salah di republik ini yang terus menerus harus dikatakan kepada publik, ini tidak boleh terjadi lagi, harus diperbaiki. Kalau pengen negara kita dihormati, ya harus dibenerin.”
 Q. Waktu Anda memutuskan untuk menikah dengan Munir, apa Anda sudah pikirkan resikonya karena bahkan dari dulu dia punya banyak musuh.
“Mungkin saya sudah biasa bekerja dengan lumayan keras ya. Karena saya dulu juga memimpin pemogokkan, berhubungan dengan polisi, berhadapan dengan...ya selalu begitulah, selalu berhubungan dengan aparat. Negara yang dipakai untuk menindas buruh, waktu itu kan buruh ya. Dan ketika saya bertemu dengan Munir, tentunya ini menyatu karena satu visi. Karena kita match aja, kita punya frame yang sama apa yang kita lakukan dan pilihannya pada dia, karena bagi saya banyak chemistrynya dan nyambung. Banyak hal yang saya temukan di Munir tidak saya temukan di laki-laki lain. Dia lengkap gitu, ya romantis, humoris, penuh dedikasi. Pokoknya semuanya, kok diambil semua sih nih? Dan memang berat ya, waktu itu saya tahu resikonya bersama dia saya harus siap menghadapi wilayah yang keras dan dia orang yang sangat penuh ya, konsisten. Dia kalau sudah hidup di dunia itu, di dunia yang dia geluti, dia total. Dan saya pikir orang yang bisa hidup dengan dia hanyalah aku. Cie... Dan kami memang punya komitmen dan dia sangat mencintai saya dan tentunya saya mencintainya. Akhirnya kami menikah dan dengan segala resikonya saya tahu itu. Bahkan satu kali dia pernah jadi narasumber buat saya jadi kritis sekali ya. Sampai saya berpikir di antara para peserta yang ikut di seminar itu, tentara atau intel tiba-tiba bawa pistol dan tembak dia, itu yang saya pikirkan. Dan ketika saya kasih tahu dia, dia cuma bilang saya ini berlebihan. Tapi saya bilang aduh ampun deh. Tapi itu memang bagian dari pilihan, saya sudah tahu jauh-jauh hari. Makanya saya bilang, hanya saya yang bisa sama dia. ”

 Q, Saya tahu ini sulit, tapi apa Anda bisa ceritakan bagaimana Anda tahu suami Anda tewas dalam penerbangan Garuda ke Belanda?
“Waktu itu aku diteleon  Usman, Usman Hamid telepon aku ke rumah. Mbak Suci udah dapat berita dari Cak? Ini udah menangis tapi saya langsung ambil telepon, saya telepon nomor Garuda  saya marah-marah. Saya bisa tuntut Garuda, begitu saya gitu-gituin pokoknya saya marah. Saya ini isterinya. ‘Oh maaf bu maaf’ dia begitu. Waktu itu dia namanya Yan, terus saya tanya, benar gak beritanya? Ya benar. Terus bapak sendiri lihat jenazahnya gak? Iya saya lihat jenazahnya. Tapi tolong ya bu, tolong jangan kasih tahu kalau saya yang kasih tahu ibu. Ya waktu itu pastilah shock, shock seharian buat aku. Antara percaya dan tidak, antara ada dan tiada. Aku ini masih hidup gak ya? Aku merasa begitu. Pas hari besoknya serasa melihat dia. Dia seperti orang mau pamit. Terus waktu aku lari, dia di depan pintu. Suci aku pulang, dia kan suka begitu. Terus aku kejar, hilang, memang tidak ada. Tapi aku masih nggak percay loh. Jadi selama perjalanan ke Belanda itu waktu aku mau menejmput jenazah itu aku gak percaya loh. Aku serasa masih hidup, karena belum melihat. Aku merasa semoga ada keajaiban yang menyatakan semua itu bohong. Udah begitu ke motarium, aku ditunjukkin baru aku ahhh...ternyata betul. Tapi gak tahu ada rasa lain yang seolah-olah mengatakan ada rasa yang luar biasa yang mengatakan aku harus ikhlas, serasa dia itu pamitan sama aku, jangan tangisi aku ingin pulang ikhlaskan seolah-olah seperti itu. Aku gak tahu, aku rasanya ikhlas, rasanya ada sesuatu yang lepas dari bebanku.”

 Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, telah menyatakan kasus ini adalah ujian bagi bangsa.
 Dalam satu persidangan yang sangat disoroti publik, bekas pilot Garuda, Pollycarpus dijatuhi hukuman 20 tahun penjara karena mencampurkan dosis arsenik yang fatal ke dalam minuman Munir.

Selama persidangan terungkap kaitan pembunuhan ini dengan Badan Intelijen Nasional (BIN). Dalam persidangan terungkap adanya hubungan lewat pembicaraan telepon antara Pollycarpus dengan deputi BIN, Muchdi Pr dan Agen BIN Budi Santoso.

Tapi setelah tujuh tahun, identitas dan motif dalang pembunuhan ini belum dibuktikan di pengadilan.

Amnesti Internasional menyatakan akibat kurangnya pertanggungjawaban pembunuhan Munir, para aktivis hak azasi manusia tanah air jadi takut, dan baru-baru ini beberapa diantaranya telah diserang.

Malam sudah tiba di Jakarta Pusat, sekelompok perempuan berbaju hitam berada di gerbang besar Istana Presiden.

Dengan pimpinan Suciwati, para perempuan ini datang ke sini setiap Kamis sore dan selalu memakai baju hitam. Di sinilah mereka berdiri sebagai protes yang sunyi.

Ini adalah ke-200 kali mereka datang ke sini. Mereka menyebut kelompoknya sebagai janda hak azasi manusia, yang telah kehilangan anggota keluarga tercinta mereka dalam kasus-kasus yang terkait dengan sejumlah badan keamanan negara.

 Q. Sejumlah analis Indonesia mengatakan Indonesia punya budaya lupa. Dalam berbagai forum online banyak orang Indonesia juga terutama para perempuan yang berkomentar mengapa Anda tidak lepaskan saja kasus ini? Biarkan Munir beristirahat dengan tenang dan lanjutkan hidup Anda, ketimbang melanjutkan dan melibatkan diri Anda dalam kasus ini ke pengadilan yang belum berakhir...bagaimana Anda menanggapi pendapat seperti itu?”
“Buat saya itu salah besar, karena hubungan antara manusia dan Tuhan buat aku selesai, karena aku tahu Munir sudah meninggal. Buat aku dia diambil karena atas kehendak Tuhan. Kalau tidak atas kehendak Tuhan, dia tidak akan meninggal. Saya pikir itu. Dan buat saya itu sudah selesai...saya ikhlas. Tapi orang yang melakukan pembunuhan itu, orang jahat itu tidak boleh dibiarkan, karena dia bisa membunuh orang lain. Saya tidak ada hubungannya dengan Polycarpus, sama isterinya tidak ada hubungannya. Tapi orang yang membunuhnya tidak boleh, kelakuannya yang tidak boleh dibenarkan, bahkan ada orang bilang ‘kalo Muchdi bebas sudah selesai dong’. Bukan soal selesai atau tidak, tapi persoalannya harus dibenerin. Ini ada orang mati tapi tidak ada pembunuhnya. Seperti itu gituloh. Kalau kita lihat dari fakta-fakta yang ada, Polycarpus bukan apa-apa, dia hanya sebagai pelaku lapangan. Jadi yang jadi sutradaranya ini yang masih bebas.”

Satu kelompok tim pencari fakta yang ditunjuk presiden menuding bekas deputi BIN mendalangi pembunuhan ini.

Namun ketka diseret ke pengadilan, ia tidak terbukti bersalah. Keputusan itu dipertahankan di Mahkamah Agung.

Suciwati masih mempertanyakan keputusan ini.

 Q. Anak perempuan Anda ada di sini sekarang, duduk bersama kita mendengarkan obrolan kita, apa Anda terbuka dengan anak-anak Anda seputar kematian ayah mereka?
 “Kejujuran buat kami itu penting. Dia juga harus paham apa yang terjadi. Meskipun ini sudah lama kan ya prosesnya. Awal-awal berat untuk menjelaskan ke mereka. Tapi setelah waktu (berjalan) mereka semakin mengerti. Tapi aku lebih banyak bercerita apa yang dilakukan abahnya, bukan apa yang dilakukan penjahat itu. Karena buat aku, nggak penting para penjahat itu diceritain. Mereka memilih untuk jahat ya sudah. Buat aku yang penting menceritakan apa yang dilakukan abahnya. Abahnya yang penuh cinta, dedikasi kepada kemanusiaan, membela orang yang tertindas, itu penting untuk diceritakan. Lebih baik itu. Jadi, pernah anakku yang laki menangis, marah-marah ‘aku mau bunuh Polycarpus’. Aku biarkan dia menangis, aku peluk. Terus aku tanya setelah dia lama menangis, ‘coba tarik nafas, lepaskan pelan-pelan. Sudah, sudah tenang? ‘Ya sudah bu’. Terus aku tanya, bagaimana rasanya marah? ‘Gak enak bu katanya, sakit.’ Ok, jadi mengapa mau bunuh Polycarpus? ‘Dia jahat bu.’ Nah kalau jahat, kenapa kamu mau jadi seperti kelakuan dia? Dia kan melakukan kejahatan. Dia membunuh juga. Kenapa kamu mau seperti dia? Terus dia diam, ‘oh iya ya, aku tidak mau seperti Polycarpus.”

 Suciwati telah ditawarkan uang kompensasi senilai 600 juta rupiah lebih dari Garuda, namun ia menolak, kecuali perusahaan penerbangan itu bersedia melakukan audit tahunan dan membuat pernyataan permintaan maaf karena berperan dalam pembunuhan Munir.

Sambil meneruskan perjuangannya di pengadilan, ia telah pindah dari Jakarta ke rumah ini di pegunungan subur di kota Malang, Jawa Timur.

Sambil memandang ke luar jendela, Anda bisa lihat kebun apel dan gunung berapi dari jauh.

 “Dia senang sekali, suka berkebun. Kita memang dulu sepakat kalau Indonesia sudah demokratis dan penegakan HAM sudah bagus di Indonesia, kita mau masa tua kita di sini. Apakah dia mau menulis sambil bertani, ya rasanya pasti nikmat sekali. Tapi Indonesia masih belum...masih jauh dari harapan.”

 Q. Apa Anda semakin ingat dengan dia kalau tinggal di sini?
 “Kalau ingat-ingat lagi, dia tidak perlu diingat lagi, karena dia sudah ada dalam jiwa saya. Kenapa harus diingat lagi. Dia ada Dia tidak pernah pergi. Jadi kalau dibilang apa dia sudah hilang atau terlupa...nggak. Nggak, dia tidak mungkin hilang atau terlupa dari diri saya.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar