Minggu, 05 Juni 2011

Tragedi Talangsari yang Terlupakan


TRAGEDI Talangsari Lampung menjadi bagian sejarah kelabu bangsa ini. Tragedi kemanusiaan yang terjadi di tahun 1989 itu hingga kini menyisahkan ketidakadilan bagi para korban. Upaya mereka mendesak aparat penegak hukum hingga kini tak jelas hasilnya.

Bahkan, mereka sempat mengalami intimidasi dan teror dari pihak-pihak yang tidak ingin kasus ini diperkarakan. Aparat penegak hukum menutup mata. Tragedi Talangsari seakan dilupakan begitu saja. Padahal, banyak fakta yang memaparkan, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus Talangsari. Dari laporan Tim Ad Hoc Talangsari yang dibentuk Komisi Nasional (Komnas HAM), ditemukan sejumlah fakta kekerasan, pembunuhan, pengusiran secara paksa, penyiksaan, dan penganiayaan yang dilakukan secara sistematis oleh militer Indonesia.

Sementara berdasarkan data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), tragedi Talangsari telah menyebabkan 167 orang meninggal dunia, 88 warga hilang, 164 orang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, dan 48 orang diadili secara tidak adil.


Temuan itu menyimpulkan, kasus Talangsari bukan kejahatan biasa (ordinary crime), tapi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang dilakukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—yang kini Tentara Nasional Indonesia (TNI)—di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Dengan dalih stabilitas negara, militer yang curiga terhadap kegiatan jamaah Islam kritis Warsidi di Talangsari, melakukan tindakan refresif. Para korban dibantai lantaran dituding menentang asas tunggal Pancasila. Pada 9 September 2008 lalu, rapat paripurna Komnas HAM memutuskan, kasus Talangsari adalah pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights).

Pengadilan HAM Ad Hoc

Tapi, sungguh sangat disayangkan. Kejagung nyatanya tak juga mau bergerak. Alasannya hanya karena belum terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Talangsari yang dibentuk DPR. Bahkan, Komnas HAM kecewa atas sikap Jaksa Agung Hendarman Supandji yang tidak memberikan tanggapan niat baik untuk membahas kasus Talangsari. Hendarman enggan menggelar pertemuan. Padahal, Komnas HAM sudah mengirim surat pertemuan dengan Hendarman.

Kejagung berdalih, penyidikan kasus Talangsari bisa batal demi hukum jika tidak diproses lewat Pengadilan ad HAM. Karena itu, meski berkas rekomendasi kasus Talangsari telah diserahkan Komnas HAM, Kejagung tetap tidak akan menindaklanjutinya. “Penyidikan Kejagung akan batal demi hukum, apabila tidak disertai syarat formal yakni adanya pengadilan HAM Ad Hoc khusus untuk kasus Talangsari,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung Jasman Panjaitan di Gedung Kejagung (Jurnal Nasional, 18/9/2008).

Sungguh disayangkan alasan tersebut Kejagung itu. Dalih Kejagung itu menjadi indikasi, jika penuntasan kasus Talangsari akan terbengkalai layaknya penanganan kasus pelanggaran HAM Trisakti I dan II, Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998.

Penuntasan kasus Talangsari terbengkalai hanya karena terjadi perdebatan mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk DPR sebagai acuan bagi Kejagung untuk melakukan penyidikan.
Seharusnya, atas nama keadilan dan penegakan hukum dan HAM, Kejagung sebagai institusi penegak hukum, tidak tidak perlu bersikukuh menunggu rekomendasi DPR terkait dengan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Setidaknya, Kejagung aktif untuk menekan DPR guna mempercepat pembentukan Pengadilan HAM.

Meski dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Komnas HAM mengatur mengenai rekomendasi DPR dalam membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, namun Kejagung seharusnya bisa menggunakan celah lain untuk mempercepat penyidikan kasus pelanggaran HAM sehingga bisa menjawab tuntutan para pencari keadilan. Gedung Bundar memang tidak serius membongkar kejahatan HAM.

Tak hanya kasus Talangsari, hampir sebagian besar kasus Pelanggaran HAM yang direkomendasikan Komnas HAM untuk ditindaklanjuti hanya masuk “kotak sampah” alias tidak ada tindak lanjut nyata. Kejagung pernah mengembalikan empat berkas kasus dugaan pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM. Dalihnya kurang lengkap. Empat kasus itu yakni kasus Wasior-Wamena, Trisakti, Semanggi I dan II, dan kasus penghilangan orang secara paksa.

Komnas HAM sudah melakukan pertemuan dengan Kejagung untuk menyamakan persepsi soal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi, tak juga mendorong keseriusan Kejagung. Kejagung enggan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat lantaran tak menyisahkan permata dan uang seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kemudian menjerat jaksa Urip Tri Gunawan dengan vonis 20 tahun penjara lantaran terbukti menerima suap dari Artaliyta Suryani sebesar US$660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar untuk menghentikan pengusutan obligor BLBI Syamsul Nursalim.

Sementara kasus pelanggaran HAM hanya menyisahkan darah dan air mata sehingga enggan disentuh Kejagung. Lantas bagaimana dengan respon DPR? Hingga saat ini, belum ada pernyataan tegas dari Komisi III DPR untuk menindaklanjuti secara cepat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Bahkan, mereka sama sekali belum mengetahui subtansi isi dari rekomendasi Komnas HAM tersebut.

Seharusnya, DPR bisa mempercepat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Talangsari. Dalam Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat, untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus delicti (tempat kejadian) dan tempus delicti (waktu kejadian) yang mana diperlukan keterlibatan DPR.

Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM sebagai insitusi yang berwenang. Sayangnya, urusan pengadilan HAM sering kali menjadi komoditas politik buat DPR. Kewenangan DPR itu menjadi kesempatan untuk pelanggar-pelanggar HAM berat itu untuk memproteksi dirinya di DPR. Karena DPR sebagai lembaga politik mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan kasus pelanggaran HAM.

Selama ini, pengusutan kasus pelanggaran HAM tak tuntas hanya karena terjadi kebuntuan penanganan perkara HAM berat di Kejagung dan ketidakseriusan DPR dalam membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.


Intervensi Presiden

Realitas itu menunjukan Politik berbasis HAM belum membumi di negeri ini. Kasus Talangsari hanya salah satu kasus pelanggaran HAM berat di negeri ini. Ketidakadilan juga dialami para korban pelanggaran HAM Trisakti dan Semanggi. Para korban dan keluarganya tak henti memperjuangkan keadilan.

Lebih 10 tahun mereka berjuang mengungkap kebenaran kasus pelanggaran HAM. Pelbagai upaya dilakukan. Dari aksi dijalan, melobi DPR dan elite partai, pertemuan dengan kejaksaan, hingga lobi internasional. Hasilnya nihil. Bahkan, bersama para aktivis pejuang HAM, mereka pun telah bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Maret lalu. Mereka meminta atensi Kepala Negara terkait menggantung berkas perkara HAM di Kejagung.

Dalam konteks ini, perlu kiranya Presiden didesak agar mengintervensi dalam upaya penegakan HAM, dengan membuat keputusan politik yang sesuai dengan harapan para korban pelanggaran HAM. Intervensi politik Presiden bisa menjadi alternatif mengatasi mandeknya Kejagung sebagai perangkat negara yang juga bertanggungjawab kepada Presiden dalam penegakan hukum dan HAM.

Presiden sebagai Kepala Negara memiliki kewenangan besar terhadap masalah ini yakni memerintahkan Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk segera menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM seputar hasil penyelidikan pelanggaran HAM masa lalu.

Presiden tidak perlu takut bakal dimakzulkan oleh DPR jika melakukan intervensi politik dalam kasus pelanggaran HAM. Apalagi, Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga Presiden dapat mengambil terobosan seperti pembentukan Pengadilan ad hoc tanpa menunggu usulan dari DPR. Pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc yang dilakukan Presiden bisa menjadi fatsoen politik di negeri ini.

Sayangnya, dalih penegakan HAM kadang juga menjadi komoditas politik para elit di level tertinggi di negara ini. Apalagi dalam kasus pelanggaran HAM yang melibat petinggi militer yang kini terjun dalam ranah politik. Kasus HAM kadang digunakan menjadi peluru untuk menyerang lawan politik. Jika memang sudah demikian buruknya penegakan HAM di negeri ini, maka langkah lain yang bisa dilakukan para korban HAM adalah memperkarakan di pengadilan internasional. Langkah hukum itu bisa dilakukan karena pelanggaran HAM adalah masalah universal yang bisa diadukan ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jika peradilan domestik tak bersedia menindaklanjuti.

Para korban dan aktivis HAM harus terus meminta dukungan internasional agar terus mendesak pemerintah Indonesia agar memenuhi standar hukum HAM Internasional. Sangat ironis tentunya, jika Indonesia yang menjadi anggota Dewan HAM PBB justru melakukan pembiaran terhadap kejahatan HAM masa lalu. Ketidakjelasan penegakan HAM tidak menutup kemungkinan membuka internasional untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar