Dalam sejarah Indonesia dimasa Orde Baru, Militer secara tersembunyi
pernah menyatakan perang terhadap kejahatan, yang semestinya merupakan
urusan polisi dan lembaga-lembaga peradilan. Pernyataan itu muncul dalam
bentuk pembinasaan para pelaku atau yang disangka sebagai palaku. Tindakan kejahatan pembinasaan tersembunyi ini berlangsung dari awal
1983 hingga awal 1985, dan konon menelan lebih dari 10.000 jiwa. Peristiwa ini
kemudian lazim disebut dengan Pertrus atau Penembakan misterius.
Jip Misterius di Jembatan …….
Suatu malam pertengahan Juni 1983, sebuah
jip berwarna gelap berhenti di tengah jembatan Sungai Cimedang, sekitar
70 km sebelah timur Tasikmalaya, yang membatasi Kabupaten Ciamis dan
Tasikmalaya. Beberapa penduduk yang sedang meronda melihat kendaraan
tersebut berhenti sebentar di tengah jembatan, berputar, lalu ngebut
kembali ke timur, arah semula jip itu datang.
Peristiwa itu nyaris tak menarik
perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak
menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat
sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah
keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama
sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan
Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat
pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah.
Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah
sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi.
Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa
Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat
setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya
sekitar 18 km dari jembatan Cimedang.
“Setelah kejadian malam itu, hampir tiap dua malam sekali jip warna gelap itu melewati desa kami dan berhenti di jembatan,” cerita Icang, seorang penduduk Desa Tawang yang lain. Dan bisa dipastikan, setelah kunjungan jip itu, esoknya sesosok mayat penuh luka ditemukan tersangkut di pinggir sungai. Tak seorang penduduk pun berniat mengetahui dari dekat apa yang dikerjakan jip misterius itu. “Tugas penduduk desa adalah bertani. Sedang pembunuhan itu urusan yang berwajib,” kata Icang. Sampai sepekan menjelang Lebaran, penduduk sepanjang tepian sungai itu telah menemukan 18 mayat, seorang di antaranya perempuan. Semuanya tak mempunyai tanda pengenal, namun semuanya bertato. Mereka tewas dengan kepala remuk atau leher dijerat tali plastik. Semua penemuan itu tak dilaporkan pada kepolisian setempat.
Penduduk Desa Sindangsari dan Tawang
tampaknya tak berniat menguburkan mayat-mayat yang mereka temukan.
“Mayat itu kan mayat residivis yang selama ini merongrong rakyat,” kata
Kasni (bukan nama sebenarnya), penduduk Desa Sindangsari. Jika mayat
terdampar di tepi barat sungai, yang berarti wilayah Tasikmalaya,
penduduk mendorongnya ke tengah, dan biasanya kemudian tersangkut di
tepi timur sungai. Penduduk tepian ini kemudian ganti mendorong mayat
itu ke tengah sungai lagi.
Akibat ditemukannya mayat misterius itu
penduduk sepanjang tepian sungai itu selalu was-was bila mandi atau
mencuci di kali. Mereka khawatir kalau tiba-tiba muncul mayat yang
mengambang. Para pencari ikan juga mengeluh. Masyarakat menolak membeli
ikan yang ditangkap dari Sungai Cimedang karena khawatir ikan tersebut
telah memakan mayat. Penduduk kedua desa itu pun sepakat buat mengajukan
keberatan agar mayat tak dibuang lagi di sungai. Tapi kepada siapa?
Bukankah pelaku pembunuhan misterius itu tak diketahui. Lewat beberapa
wartawan yang berkunjung ke wilayah itu, mereka mengimbau agar di waktu
mendatang mayat digeletakkan di pinggir jalan. “Kami yang akan
menguburkannya,” kata seorang tokoh masyarakat setempat. Untuk itu
setelah Lebaran penduduk menggali tiga lubang kubur di sebuah kebun di
Desa Sindangsari. Namun upaya itu ternyata sia-sia. Sebab setelah itu
tak ada lagi mayat misterius yang kelihatan mengambang di Sungai
Cimedang. Tiga lubang besar itu pun masih menganga sampai sekarang.
Para Penembak Dalam Gelap …
Suatu malam, 26 Juli 1983, nun di Lubuk
Pakam, 40 kilometer dari Medan. Dari remang-remang, Suwito, pemilik dua
warung di desa itu, melihat lima orang yang menghampirinya. Mereka
meminta Suwito mengikuti mereka karena butuh keterangan.
Tanpa curiga, Suwito naik ke mobil
Landrover putih penjemput. Di dalam mobil, mereka bertanya soal Usman
Bais, pemimpin perampok terkenal dari Medan saat itu yang pernah makan
di warungnya. Suwito membantah punya hubungan dengan sang perampok,
apalagi ketika mereka menuduh Usman Bais sebagai orang yang memberi
modal untuk warungnya.
Menurut cerita Suwito, ia dibawa
berputar-putar di pinggiran Medan selama dua jam. Ia sempat difoto dua
kali. Di Desa Hamparan Perak yang sepi, Suwito dipaksa turun. Seorang
penjemputnya ikut turun. “Orangnya sedang-sedang, tegak, tapi agak
pincang,” kata Suwito.
Begitu turun, lelaki pincang mencabut
pistolnya. “Tiga kali dor, saya jatuh. Saya masih bisa mendengar salah
seorang penjemput menyuruh supaya kepala saya ditembak. Tapi orang yang
diperintah bilang saya sudah mati, setelah meraba perut saya,” kata
Suwito. Ia memang menahan napas berpura-pura mati. Suwito lalu dilempar
ke parit di pinggir jalan.
***
Pada 1983 – 85, adegan seperti itu
terjadi di mana-mana di segenap penjuru Indonesia yang kelak dikenal
sebagai peristiwa Petrus (Penembak Misterius). Kala itu, warga Jakarta
dan kota-kota besar lain di Indonesia menjadi terbiasa dengan
mayat-mayat bertebaran. Namun, mereka sama sekali tak mengetahui siapa
pembunuhnya.
Berdasarkan pemberitaan media massa yang
terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai
operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”.
Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando
Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27
Juli 1983 operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku
kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya.
Persoalan Petrus yang semula dilakukan
secara rahasia lambat laun tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan
perhatian dari dunia luar. Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti
Internasional, menyoal pembunuhan yang sadistis itu. Namun surat Amnesti
Internasional dianggap sepi oleh pemerintah. Yoga Sugama menilai
pembunuhan terhadap preman “Merupakan kepentingan yang lebih besar
daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan
persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” katanya seperti dikutip
dari Harian Gala, 25 Juli 1983.
Pemerintah pada awalnya enggan
menjelaskan penemuan mayat-mayat itu. Aparat keamanan pun menepis
keterlibatan mereka. Panglima ABRI saat itu, Jenderal L.B. Moerdani,
misalnya, hanya menyatakan bahwa pembunuhan terjadi akibat perkelahian
antargeng. Pembunuhan yang bertubi-tubi itu, menurut Benny, bukan
keputusan pemerintah. Memang, katanya, “Ada yang mati ditembak petugas,
tapi itu akibat mereka melawan petugas.”
Namun, dalam buku biografi Ucapan,
Pikiran, dan Tindakan Saya, Soeharto justru “mengesahkan” adanya petrus
itu. Ia menyatakan, penembakan misterius itu sengaja dilakukan sebagai
terapi kejut untuk meredam kejahatan.
Pada saat penembak misterius merajalela,
para cendekiawan, politisi, dan pakar hukum angkat bicara. Intinya,
mereka menuding bahwa hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius.
Meski begitu, menurut Soeharto, “Dia tidak mengerti masalah yang
sebenarnya.” Mungkin tidak terlalu keliru untuk menafsir bahwa yang
dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti masalah sebenarnya adalah
dirinya sendiri. Seperti apakah itu?
Dalam satu paragraf yang terdiri atas 19
baris, Soeharto menguraikan argumen bahwa kekerasan harus dihadapi
dengan kekerasan. Istilah Soeharto: treatment. Ikuti caranya berbahasa dan caranya mengambil kesimpulan: “Tindakan
tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu
bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja. Bukan! Yang
melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak.” Paragraf ini segera disambung paragraf 5 baris: “Lalu,
ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy,
terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap
perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan
itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui
batas perikemanusiaan itu.” Lantas, Soeharto memaparkan lagi: “Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.”
Jadi, menurut pengakuannya, Soeharto sangat jijik terhadap kejahatan. Namun, apakah karena shock therapy
yang dipelajarinya entah dari mana itu kejahatan memang mereda?
Tanyakanlah kepada sindikat Kapak Merah. Tentang pendapat Soeharto atas
kaum gali itu sendiri terdapat uraian menarik: “Mereka tidak hanya
melanggar hukum, tetapi sudah melebihi batas perikemanusiaan.” Yang
belakangan ini diperinci lagi: “Orang tua sudah dirampas pelbagai
miliknya, kemudian masih dibunuh.” Atau juga: “….ada perempuan yang
diambil kekayaannya dan istri orang lain itu masih juga diperkosa orang
jahat itu di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan!” Perhatikan
opini Soeharto berikut: “Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan
lantas membunuh.”
Tak ada angka resmi jumlah korban petrus
itu. Hingga Juli 1983, menurut Benny Moerdani, tercatat ada 300 korban
di seluruh Indonesia. Jumlah sebenarnya bisa dipastikan lebih dari itu
karena banyak bandit yang mayatnya tanpa bekas.
Mulyana W. Kusumah, pakar kriminologi
yang melakukan riset soal Petrus, menyebutkan bahwa yang menjadi korban
mencapai angka 2.000 orang. Menteri Luar Negeri Belanda kala itu, Hans
van den Broek, pada 1984 meminta pemerintah Indonesia menghormati hak
asasi manusia, bahkan menyebutkan korban Petrus mencapai 3.000 orang.
Bertahun-tahun kemudian, keterlibatan
pemerintah dalam pembunuhan misterius itu mulai terkuak. Menurut
penelitian Mulyana, Petrus merupakan lanjutan dari Operasi Pemberantasan
Kejahatan di beberapa kota besar.
Mula-mula, operasi ini dicanangkan oleh
Komandan Garnisun Yogyakarta Letnan Kolonel M. Hasbi pada Maret 1983.
Lalu diikuti daerah-daerah lain, termasuk Jakarta. Ribuan gali-ini
sebutan bagi preman-ditembak, sebagian di antaranya buru-buru menyerah,
kabur ke hutan, atau segera berubah menjadi orang baik-baik.
Bagi pemerintah, keputusan untuk
“menyelenggarakan” Petrus dianggap positif. Angka kejahatan disebutkan
menurun waktu itu. Di Yogyakarta, jumlah kejahatan dengan kekerasan
menurun dari 57 menjadi 20 sejak Januari hingga Juni 1983. Pada periode
yang sama, angka kejahatan di Semarang turun dari 78 menjadi 50 kali.
Namun, cara mengatasi kejahatan dengan Petrus tentu saja menuai kecaman. Mulyana pada kesimpulan penelitiannya menyebut aksi penembakan misterius ini “ekstralegal” yang bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan. Lembaga Bantuan Hukum, yang kala itu dipimpin Adnan Buyung Nasution, menganggap aksi Petrus sebagai “pembunuhan terencana”.
Namun, cara mengatasi kejahatan dengan Petrus tentu saja menuai kecaman. Mulyana pada kesimpulan penelitiannya menyebut aksi penembakan misterius ini “ekstralegal” yang bertentangan dengan prinsip hukum dan keadilan. Lembaga Bantuan Hukum, yang kala itu dipimpin Adnan Buyung Nasution, menganggap aksi Petrus sebagai “pembunuhan terencana”.
Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran. ” —Mantan Wapres Adam Malik (Sinar Harapan, 25 Juli 1983) menetang “aksi petrus”.Sumber
Kalau penjahatnya saat melakukan kejahatan apa mereka juga berfikir..oh saya tidak boleh memukul korban karena melanggar HAM,,,,?
BalasHapus