Sebelumnya
kita telah membahas secara mendetail baik secara kebahasaan maupun
melalui analisis ekonomi politik untuk mendefinisikan ciri-ciri fasisme
dan bagaimana kebangkitannya hingga keberhasilannya merebut kekuasaan.
Kali ini pembahasan kita akan difokuskan dengan menggunakan analisis
ekonomi politik. Sekali lagi alasan mengapa fasisme bisa bangkit dan
berkuasa dibagi ke dalam dua faktor, faktor subyektif (internal) dan
faktor obyektif (eksternal). Faktor obyektif meliputi 1) terjadinya
krisis kapitalisme, 2) kepentingan kapitalisme untuk mempertahankan
sistemnya membuatnya berseberangan tidak hanya dengan kelas proletar
namun juga terhadap demokrasi, 3) serta kegagalan perjuangan kelas
proletar untuk merebut kekuasaan dan menumbangkan kapitalisme. Sedangkan
faktor subyektif terdiri atas 1) basis massa fasisme yang bertopang
pada kelas borjuis kecil dan lumpen proletar serta pandangan kelas
fasisme yang menentang perjuangan kelas dan menggantinya dengan
kolaborasi kelas, 2) sistem ekonomi fasisme yang tidak anti kapitalisme
melainkan menopang kapitalisme negara, 3) praktek politik fasisme (anti
demokrasi, anti oposisi), 4) serta pandangan sosial-kebudayaannya yang
membangun kultus (pemujaan) individu, membangun kultus (pemujaan)
maskulinitas, berorientasi SARA (baik secara chauvinis maupun secara
diskriminatif), serta menggunakan mitos-mitos kejayaan di masa lalu.
Dengan demikian tidak semua rezim represif atau kediktatoran bisa disebut fasis. Marilah kita tengok contoh-contoh kediktatoran dari beberapa rezim di negara-negara seperti Mesir, Saudi Arabia, dan Korea Utara. Rezim Gamal Abdul Nasser di Mesir bukan rezim fasis. Rezim itu adalah rezim Bonapartis. Sama dengan rezim Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin. Rezim Saudi Arabia bukan pula rezim fasis. Saudi Arabia adalah rezim neo-feodal. Bagaimana dengan Korea Utara? Korea Utara juga bukan rezim fasis. Meskipun mengaku dan sering dilabeli berbagai pihak sebagai negara komunis, Korea Utara sesungguhnya adalah rezim monarki absolut. Begitulah label dan kenyataan seringkali memang tidak singkron tapi kita disini bukan untuk membahas negara-negara tersebut, kita disini untuk membahas Indonesia. Khususnya untuk menjawab pertanyaan, benarkah rezim SBY adalah rezim fasis seperti rezim Soeharto dan Orde Barunya?
Dengan demikian tidak semua rezim represif atau kediktatoran bisa disebut fasis. Marilah kita tengok contoh-contoh kediktatoran dari beberapa rezim di negara-negara seperti Mesir, Saudi Arabia, dan Korea Utara. Rezim Gamal Abdul Nasser di Mesir bukan rezim fasis. Rezim itu adalah rezim Bonapartis. Sama dengan rezim Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin. Rezim Saudi Arabia bukan pula rezim fasis. Saudi Arabia adalah rezim neo-feodal. Bagaimana dengan Korea Utara? Korea Utara juga bukan rezim fasis. Meskipun mengaku dan sering dilabeli berbagai pihak sebagai negara komunis, Korea Utara sesungguhnya adalah rezim monarki absolut. Begitulah label dan kenyataan seringkali memang tidak singkron tapi kita disini bukan untuk membahas negara-negara tersebut, kita disini untuk membahas Indonesia. Khususnya untuk menjawab pertanyaan, benarkah rezim SBY adalah rezim fasis seperti rezim Soeharto dan Orde Barunya?