Oleh Al araf
Pada 7
September 2004, derap kaki Munir—sang pejuang HAM—terhenti untuk
selama-lamanya di dalam pesawat milik maskapai kebanggaan kita: Garuda
Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2004 dan perdebatan RUU
TNI, Cak Munir—begitu panggilan akrabnya—dibunuh secara kejam dan
sistematis dengan menggunakan racun arsenik. Hingga kini pengungkapan
kasus Munir masih menghadapi jalan buntu.
Sedari awal,
pengungkapan kasus Munir sudah melalui jalan yang berkelok dan penuh
keganjilan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terlihat setengah hati
dalam mengungkap kasus Munir. Pada awalnya, Presiden SBY tegas
menyatakan pengungkapan kasus Munir sebagai test of our history yang
kemudian diikuti dengan pembentukan tim pencari fakta (TPF) melalui
keputusan presiden. Langkah ini tentu disambut baik banyak kalangan.
Namun, dalam perjalanannya, langkah pemerintahan SBY dipenuhi kegamangan
dan keragu-raguan.
Presiden SBY tidak berbuat apa-apa ketika
Muchdi PR diputus bebas di tingkat Mahkamah Agung. Padahal, Komite Aksi
Solidaritas untuk Munir sudah mendesak Presiden untuk memerintahkan
Jaksa Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan bebas itu sebagai
wujud nyata keseriusan pemerintah.
Pembunuhan terhadap Munir
jelas bukan pembunuhan biasa sehingga penyelesaiannya tidak bisa
dilepas begitu saja oleh Presiden. Pengungkapan kasus ini membutuhkan
sebuah kemauan, kesungguhan, dan konsistensi politik Presiden yang
sangat tinggi. Mungkin dugaan keterlibatan pihak-pihak dalam lembaga
intelijen negara menjadi penyebab kegamangan SBY sehingga kesulitan
menemukan aktor di belakang layar kasus pembunuhan Munir.
Sebagai
bentuk pembunuhan politik, tentu pembunuhan Munir memiliki motif
politik spesifik: dilakukan orang berkeahlian khusus, direncanakan
matang, dilakukan secara bersengkokol, dan kekuatan politik ataupun
ekonomi yang besar di dalam menggerakkan operasi pembunuhan tersebut.
Keterlibatan oknum pejabat Garuda beserta pilot Pollycarpus dalam
memfasilitasi ataupun terlibat langsung dalam pembunuhan Munir jelas
tak bisa dilakukan tanpa adanya kekuasaan yang kuat yang dapat
memengaruhi maskapai itu.
TPF kasus Munir sendiri menyimpulkan
pembunuhan Munir tidak melibatkan satu-dua orang semata. TPF pun
merekomendasikan pihak-pihak tertentu di lingkungan Garuda dan Badan
Intelijen Negara yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan Munir harus
diperiksa secara intensif dan dijadikan tersangka. Sayangnya, hingga
kini beberapa pelaku yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir masih
menghirup udara kebebasan.
Dengan kata lain, dalang pembunuh
Munir masih bebas berkeliaran di sekeliling kita dan masih mungkin
untuk melakukan pembunuhan politik serupa. Pada titik ini, pengungkapan
secara tuntas kasus Munir bukan hanya menjadi kepentingan keluarga
Munir, tetapi menjadi kepentingan kita semua dalam mewujudkan rasa
keadilan dan rasa aman dalam masyarakat.
Gagasan reformasi militer
Pengungkapan
kasus Munir hingga tuntas tentu tak bisa ditawar-tawar. Namun, usaha
itu juga harus dilakukan paralel dengan meneruskan cita-cita Munir dalam
memperjuangkan penegakan hak asasi manusia (HAM) di republik ini.
Sebagai
tokoh pejuang HAM yang gigih dan pantang menyerah, gagasan dan
pemikiran Munir dalam penegakan HAM mensyaratkan perlunya melakukan
reformasi militer guna tercipta tentara profesional yang menghormati
HAM, tunduk terhadap supremasi sipil dan prinsip negara hukum,
akuntabel, tak berpolitik dan berbisnis, serta ahli dalam bidangnya.
Dalam konteks itu, usaha mengawal dan mengkritisi pembahasan RUU
Keamanan Nasional di parlemen jadi penting dilakukan oleh masyarakat
sipil. Hal ini mengingat draf yang diajukan pemerintah itu memuat
pasal-pasal bermasalah yang dapat mengembalikan peran TNI seperti pada
masa lalu.
Meski reformasi militer sudah meraih beberapa capaian
positif, masih terdapat beberapa agenda krusial yang menjadi pekerjaan
rumah pejuang HAM, khususnya terkait penuntasan agenda reformasi
peradilan militer. Kritik Munir bahwa peradilan militer sering kali jadi
sarana impunitas oknum TNI yang melanggar HAM masih tetap relevan
hingga saat ini. Oleh karena itu, gagasan melakukan reformasi peradilan
militer dengan melakukan perubahan terhadap UU No 31/1997 tentang
Peradilan Militer adalah salah satu agenda penting yang sering
disuarakan almarhum.
Sayangnya pembahasan perubahan UU No 31/1997
ini terus mengalami jalan buntu. Pemerintah dan parlemen periode
2004-2009 gagal mewujudkan perubahan tersebut. Tidak hanya itu, revisi
legislasi ini pun bahkan tidak masuk dalam agenda prolegnas tahun 2012
maupun 2013. Padahal, agenda reformasi peradilan militer secara tersirat
dan tersurat telah jadi mandat UU No 34/2004 tentang TNI.
Gagasan
Munir dalam mewujudkan tentara yang profesional juga terlihat dari
pemikirannya tentang pentingnya peningkatan kesejahteraan prajurit bagi
anggota TNI. Hal itu dilontarkan almarhum semasa hidup dalam beberapa
forum diskusi ataupun dalam perbincangan antara almarhum dan penulis.
Sahabat
Munir, Ikrar Nusa Bakti, juga mengakui perjuangan meningkatkan
kesejahteraan prajurit adalah bagian perjuangan Munir dalam membahas UU
TNI. Meski saat ini gaji prajurit meningkat, hal itu belum cukup
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para prajurit tamtama dan bintara.
Kabar adanya prajurit yang menyambi kerja lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya akibat kesejahteraan yang minim masih kerap terdengar. Belum
lagi masih adanya dugaan kasus uang lauk-pauk dan uang tunjangan
prajurit yang dikorup atasannya.
Di sisi lain, Munir juga sering
kali mendiskusikan ide mengurangi dominasi Angkatan Darat dan pentingnya
mewujudkan kekuatan maritim yang kuat. Di mata Munir, strategi dan
orientasi pertahanan Indonesia tak berubah dari masa ke masa, yakni
lebih berorientasi ke darat sementara realitas negara Indonesia adalah
negara kepulauan yang kekuatan maritimnya masih jauh dari yang
diharapkan.
Meski transformasi pertahanan penting dilakukan, bagi
Munir, transparansi dan akuntabilitas serta pemberantasan korupsi dalam
sektor pertahanan dan keamanan mutlak dilakukan. Ini mengingat masih
terdapat kasus-kasus pengadaan peralatan militer yang terindikasi
korupsi.
Terakhir, agenda utama yang penting untuk terus
diperjuangkan adalah meneruskan perjuangan penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM. Sebutlah seperti kasus penghilangan orang secara paksa,
Tragedi Trisakti dan Semanggi, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua,
serta beberapa kasus lainnya yang belum juga mendapatkan titik terang.
Cak,
suaramu kini tentang Indonesia sudah tak terdengar lagi dalam diskusi
sore di Imparsial, tetapi ide dan pemikiranmu adalah kekayaan peradaban
yang harus terus dirawat oleh setiap kami yang peduli akan kemanusiaan
dan perdamaian. Salam hormat dan tangis untukmu, Cak....
*Al Araf Direktur Program Imparsial; Dosen Studi Strategis Hubungan Internasional Universitas Al Azhar dan Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar