Oleh Ananto Setiawan
Masih segar diingatan kita babak baru perubahan yang dimulai dengan gemeruh reformasi pada tahun 1998. Sebuah awal baru yang memberikan harapan besar kepada semua orang akan perbaikan kondisi hukum dan demokrasi di Indonesia, yang semenjak Orde Baru berkuasa dirampas dan diperkosa oleh penguasa negri ini. Harapan yang juga dicita-citakan oleh para korban pelanggaran HAM akan kejelasan dari kasus mereka, untuk mengusut setuntas-tuntasnya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh mereka dan keluarga mereka oleh Negara. Karna Negaralah yang semestinya memang harus bertanggung jawab penuh atas penghormatan, perlindungan, pemenuhan juga usaha pengungkapan atas segala pelanggaran Hak Asasi Manusia di negri ini.
Seiring berjalannya sang waktu, hingga hari ini masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung mendapatkan kejelasan dan titik terang akan akan pengungkapannya. Termasuk kejelasan akan keberadaan para korban penculikan yang dialami oleh 13 orang aktivis pada tahun 1998. 13 tahun pula kasus mereka menjadi seperti dihilangkan, penantian panjang keluarga korban terasa semakin jauh dari titik terangnya. Tentu ini bukanlah hal mudah bagi keluarga korban, bahkan sebagian dari mereka mungkin telah menutup rapat-rapat masa lalunya karna tak ingin hal tersebut terulang kembali dan bahkan tak sedikit dari mereka yang mungkin telah lelah menyuarakan ketidakadilan di negri ini.
Memang Negara bukan tidak melakukan tindakan atas kasus mereka, tetapi hal tersebut namapaknya masih jauh dari titik terang akan keberadaan ke 13 aktivis yang hingga hari ini masih dihilangkan dan tidak diketahui keberadaanya. Pembentukan DKP (Dewan Kehormatan Perwira) oleh Panglima TNI (Jend TNI Wiranto) hingga Mahkamah militer yang digelar pada tahun 1999, yang hanya berhasil menyeret 11 orang dalam Tim Mawar menjadi terdakwa dengan tuntutan kejahatan merampas kemerdekaan secara bersama-sama dan tidak berhasil menyeret para perwira tinggi militer yang diduga keras sebagai otak dari penculikan para aktivis yang terjadi pada tahun 1997-1998, yang semestinya juga memiliki tanggung jawab komando atas operasi yang dilakukan Tim Mawar tersebut. Membuahkan hasil yang sangat jauh dari pengharapan para keluarga korban akan kejelasan dari kasus mereka dan pengungkapan atas keberadaan keluarga mereka yang hingga hari ini masih dihilangkan kini berada.
Kemajuan sekilas memang terjadi pada masa kepemimpinan Abdurahman Wahid, ketika itu ia melakukan pertemuan bersama delegasi AFAD (Asian Federation Against Involuntaru Disappreance) pada tahun 2000. Dalam pertemuan itu delegasi meminta diundangnya kelompok kerja penghilangan paksa (UNWGEID) untuk melakukan penyelidikan terhadap banyaknya kasus penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia. Saat itu ada respon positif dari pemerintah Abdurahman Wahid, yang tentunya juga memberikan sedikit harapan kepada keluarga korban akan kejelasan dari kasus mereka. Namun sayangnya hal tersebut tidak mendapatkan tindak-lanjut oleh pemerintahan selanjutnya hingga hari ini.
Termasuk dengan hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM yang merekomendasikan agar Jaksa Agung agar segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan baik terhadap peristiwa yang terjadi pada sebelum UU 26 tahun 2000 maupun peristiwa yang sampai saat ini masih berlangsung (mengingat bahwa ke 13 aktivis yang hingga hari ini masih hilang dan belum kembali), hingga saat ini masih tidak ditindak-lanjuti oleh Jaksa agung dengan alasan belum terbentuknya pengadilan HAM ad’hoc dan telah digelarnya pengadilan militer atas kasus tersebut (Nebis in idem), semakin menjauhkan para keluarga korban dari keadilan. Begitu juga pembentukan Panitia Khusus (Pansus) orang hilang melalui sidang paripurna DPR RI pada 27 Februari 2007, dengan ketuanya Panda Nababan dinilai masih sangat minim hasil kerjanya.
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu. Karna pada saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI. Hingga pada 28 September 2009 Pansus mennyampaikan beberapa rekomendasinya dalam sidang paripurna DPR RI. Namun lagi-lagi rekomendasi tersebut tidak mendapatkan tindak-lanjut hingga hari ini.
Mereka masih hilang dan masih dihilangkan, itulah kenyataannya hingga saat ini. Keberadan mereka masih menjadi teka-teki yang belum bisa diungkapkan kejelasannya, harapan keluarga korban akan kepastian tentang keberadaan keluarga mereka yang masih dihilangkan nampaknya masih akan menemui banyak halangan dan kendala, terutama kemauan pemerintah untuk mengungkap kasus penghilangan paksa terhadap aktivis 98 tersebut. Namun belum habis asa dari pengharapan keluarga korban untuk mencari tau dimana keberadaan keluarga mereka yang dihilangkan kini, apakah mereka masih hidup ? dan jika sudah meninggal dimana mereka dimakamkan ?
Semangat yang terus terpancar untuk menuntut keadilan dan mengungkap kebenaran, karna bukan tidak mungkin kajadian ini akan terus berulang, selagi tidak adanya jaminan akan penghilangan paksa bagi mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah, bagi mereka yang memiliki gagasan-gagasan dan pemikiran yang bersebrangan dengan penguasa dan dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat roda pemerintahan. Hal inilah yang senada dengan rekomendasi Pansus untuk orang hilang DPR RI agar pemerintah segera meratifikasi konfensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia. Dan pemerintah juga harus mengungungkap dimana keberadaan ke-13 orang aktivis yang hingga hari masih hilang dan dihilangkan, sebagai bentuk pembelajaran agar kejadian ini tidak akan terulang kembali dikemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar