Oleh : M. Ananto Setiawan*
Hari
dan tahun berganti, namun negara ternyata masih gemar menebar benih
kekerasan dalam masyarakat. Meski sudah genap 13 tahun reformasi
menggaungi nafas Ibu Pertiwi, tapi pola-pola yang telah diterapkan rezim
sebelumnya – selama 32 tahun – masih tertancap keras di negeri ini.
Kekerasan yang terus didaur ulang ke dalam bentuk otoritarianisme baru
di tengah masyarakat, masih menjadi momok yang begitu mengerikan,
terutama bagi masa depan bangsa Indonesia.
Ketakutan yang ditebar dimana-mana, tak jarang beriringan dengan semerbak bau mesiu dari selongsong senapan. Atas nama keamanan, aparat bersenjata lengkap masih dapat kita lihat di persimpangan jalan, maupun pojok pertokoan. Tanpa ragu mereka siap menembak, sesuai perintah atasan. Gambaran kehidupan demokratis nampaknya masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan berapa banyak senapan yang telah memakan korban.
Ketakutan yang ditebar dimana-mana, tak jarang beriringan dengan semerbak bau mesiu dari selongsong senapan. Atas nama keamanan, aparat bersenjata lengkap masih dapat kita lihat di persimpangan jalan, maupun pojok pertokoan. Tanpa ragu mereka siap menembak, sesuai perintah atasan. Gambaran kehidupan demokratis nampaknya masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan berapa banyak senapan yang telah memakan korban.
Tak
pelak, sindrom ini pun ikut menjangkiti masyarakat kita. Kekerasan demi
kekerasan itu kini melebur dalam etnosentrime berkedok keagamaan,
kelompok mayoritas, kesukuan, atau segala macam fanatisme berlebihan.
Mungkin masih segar di ingatan kita bagaimana kelompok itu menghalalkan
kekerasan atas nama keyakinan, juga betapa seringnya kita lihat batu
bertebaran di jalan akibat pelajar yang tawuran.
Kekerasan,
main pukul, main tembak, intimidasi, hingga stigmatisasi nampaknya
masih terus diproduksi oleh negara. Bahkan kerap didaur ulang ke dalam
kemasan yang lebih brutal, hingga tak jarang memakan banyak korban.
Negara nyatanya masih abai dengan pemenuhan hak asasi warga negaranya.
Gambaran ini jelas terlihat dari banyaknya jumlah kekerasan yang masih
terus berlangsung hingga hari ini.
Kado Akhir Tahun Untuk Rakyat Indonesia
Seakan
tak ada habisnya, rentetan peristiwa kekerasan mewarnai sejumlah kolom
media massa pada beberapa minggu terakhir. Setidaknya, sejumlah peritiwa
kekerasan beruntutan mengiringi di penghujung tahun ini. Silih berganti
kita dibuat terbelalak menyaksikan bagaimana saudara-saudara kita
dipukul, ditembaki, dibunuh, bahkan ditangkap secara sewenang-wenang.
Rentetan
panjang itu mulai dari pemukulan terhadap beberapa aktivis HAM dan
pro-demokrasi; Tindakan represif pihak keamanan terhadap buruh PT.
Freeport dan Kongres Rakyat Papua; Tindakan represif pihak keamanan
terhadap demonstran Solidritas untuk Sondang; Penangkapan Ilegal
terhadap 64 Punk di Aceh; Arogansi pihak Kepolisian terhadap staff
LBH-Jakarta; Pembantaian di Mesuji–Lampung, hingga yang teranyar
tindakan brutal pihak keamanan terhadap demonstran Penolakan Tambang di
Pelabuhan Sape, Bima-NTB.
Tak
hanya itu, daftar panjang kekerasan masih ditambah dengan stigmatisasi
dan intimidasi terhadap Ja’maah Ahmadiyah hingga hari ini; Penyegelan
Gereja Yasmin di Bogor; Pembakaran Pesantren Syiah di Sampang-Madura;
Maraknya kembali tawuran pelajar, dan berbagai konflik kekerasan yang
melibatkan sejumlah kelompok masyarakat sipil. Warna-warni penuh amarah
itu mewarnai langit Ibu Pertiwi, seakan menjadi kado akhir tahun untuk
rakyat Indonesia.
Sondang, Cahaya Sepanjang Jalan
Namun
lagi-lagi negara abai dan hanya bisa prihatin. Tak ada tanggapan serius
pemerintah terhadap rentetan sejumlah peristiwa kekerasan yang tak
sedikit memakan korban tersebut. Pun halnya terhadap peristiwa Sondang,
seorang aktivis HAM yang membakar diri di depan Istana, kediaman orang
nomor satu di negara ini. Tamparan keras yang mendarat di pipi
pemerintah, seakan tak cukup memerahkan kulit tebal para pemilik kuasa.
Layaknya sang fighting falcon
yang melesat ribuan knot di atas udara, Sondang menyambar loteng sang
pemilik kuasa. Seakan hendak mengantarkan nalar kita pada kenyataan,
bahwa idiom hak asasi manusia, “one is too many”, hari ini telah berubah menjadi, “too many is one.”
Ia telah menantang sang pemilik kuasa, Sondang mendahului mereka
dengan mencabut sendiri HAM yang ia punya, agar negara tak bisa lagi
melanggarnya.
Miris
memang nasib menjadi seorang anak negeri ini, harus memilih mati
sebelum mati nanti. Namun matinya adalah sumber kehidupan, ia yang
memilih mati dari pada hidup dalam kematian. Kematian Sondang adalah
cahaya penerang yang menjadi pemandu arah jalan panjang penegakan hak
asasi manusia dan demokrasi di negeri ini, yang masih harus melalui
jalan terjal dan berbatu-batu. Layaknya Munir, Marsinah, Wiji Thukul,
dan kawan-kawan, Sondang menjadi cahaya sepanjang jalan.
Apabila
pemerintah mau berkaca dari peristiwa Sondang, seharusnya mereka merasa
malu atas apa yang mereka sampaikan selama ini; “Bahwa selama
pemerintahan SBY-Budiono tidak ada lagi pelanggaran HAM.” Bukan hanya
masih ada, bahkan negara telah menjadi motor utama berbagai pelanggaran
HAM di negeri ini. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tak
pernah secara serius diungkapkan, buruknya penegakan hukum, korupsi, dan
berbagai ketidakadilan lainnya, telah menjadi lidah api yang tak hanya
membakar Sondang, bahkan siap menjilat 250 juta orang lainnya.
Memutus Spiral Kekerasan
Ketidakadilan
inilah nampaknya yang menjadi penyebab utama maraknya kembali tindak
kekerasan di negeri ini. Buruh yang dibayar murah, petani yang dirampas
tanahnya, pensiunan TNI yang diambil paksa rumahnya, hingga pendidikan,
kesehatan, lapangan pekerjaan, hukum, kesejahteraan kembali menjadi
barang langka bagi rakyat kecil. Janji-janji manis partai politik pemilu
lalu, kini berbuah nelangsa bagi rakyat Indonesia.
Elite yang kini hanya sibuk berbagi jatah kekuasaan, tak peduli lagi dengan nasib bangsa ini. Mereka asik berkicau di twitter,
namun pucat seperti pesakitan di depan sidang komisi-komisi maupun
paripurna. Hanya simpati yang mereka sampaikan, namun tak ada yang tahu
pasti hendak dibawa ke mana negeri ini dari kehancuran.
Tak
berlebihan kiranya kemudian rakyatpun menjadi marah, menuntut perbaikan
atas hidup yang semakin berat mereka rasakan. Pemberontakan demi
pemberontakan itu berlarian ke jalanan, rumah-rumah, sekolahan,
kampus-kampus, desa, balai kota, hingga istana. Celakanya, pemberontakan
itu dihantam dengan kekerasan oleh sang pemilik kuasa.
Hingga
terus-menerus demikian, dan terus didaur ulang. Kekerasan bak spiral
yang terus menggulung rakyat Indonesia setiap hari, bahkan setiap jam.
Sumbernya adalah keadilan yang tidak merata di seluruh negeri, menjadi
mesin pabrikan yang memproduksi beragam jenis kekerasan. Maka apabila
kita mau memutus spiral kekerasan itu, mau tidak mau, kita harus berani
menghadapi dan melawan ketidakadilan.
(Foto: Aksi Tenda Keprihatinan untuk Kasus Munir, di Kejaksaan Agung, Jakarta)
(Foto: Aksi Tenda Keprihatinan untuk Kasus Munir, di Kejaksaan Agung, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar