“Sebuah kenyataan yang miris, ketika beberapa waktu yang lalu kita sama-sama saksikan konflik demi konflik yang berujung dengan kekerasan kembali menggulung masyarakat kita. Dan menghadirkan sebuah pertanyaan yang kembali menyeruak tentang apa dan dimanakah toleransi itu ? Haruskan mereka hilang atas nama PENYERAGAMAN”
Pada awal tahun 2011, Indonesia kembali dihentakan dengan beberapa peristiwa yang cukup membuat hati kita menjadi miris. Kekerasan demi kekerasan kembali menggulung masyarakat, yang tak pelak memakan memakan sejumlah korban. Penyerangan terhadap Ja’maah Ahmadyah di Cikeusik, Kerusuhan di Temanggung dan beberapa peristiwa-peristiwa yang berakhir dengan kekerasan, menjadi sebuah trend yang kembali digunakan oleh masyarakat dalam menyikapi perbedaan, terutama terhadap isu-isu keagamaan. Seakan tak cukup dengan itu, bahkan terror-pun di tujukan kepada mereka yang vokal menyuarakan isu-isu keberagaman dan pluralisme.
Masyarakat Indonesia yang dikenal toleran dan mempunyai kearifan lokal dalam menanggapi perbedaan-perbeadaan, kini dengan cepatnya telah berubah menjadi pemarah dan agresif. Sedikit saja disulut dengan isu-isu yang sensitif - seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan - masyarakat dapat dengan mudah menjadi berapi-api, seperti rumput kering yang mudah terbakar.
Nampaknya sudah tak ada ruang bagi masyarakat untuk menjaga ke-bhinekaan yang tunggal ika, seperti yang dahulu diwariskan oleh pendahulu negri ini. Hingga pada hari ini, yang terlihat pada wajah masyarakat Indonesia kini adalah kelompok mayoritas yang coba menggulung kelompok minoritas, yang berbeda coba dipaksakan untuk sama, dan yang beragam coba untuk diseragamkan.
Nampaknya sudah tak ada ruang bagi masyarakat untuk menjaga ke-bhinekaan yang tunggal ika, seperti yang dahulu diwariskan oleh pendahulu negri ini. Hingga pada hari ini, yang terlihat pada wajah masyarakat Indonesia kini adalah kelompok mayoritas yang coba menggulung kelompok minoritas, yang berbeda coba dipaksakan untuk sama, dan yang beragam coba untuk diseragamkan.
Sebuah keyataan yang miris melihat berbagai keaneka-ragaman bangsa ini sepertinya digugat oleh sekelompok kepentingan yang menginginkan keseragaman. Pemaksaan-pemaksaan untuk sama juag tak jarang melibatkan kekerasan dan intimidasi didalamnya, yang pada akhirnya sudah barang tentu hanya mengakibatkan korban, baik korban materi, moral bahkan hingga nyawapun ikut terkorbankan. Manusia Indonesia menjadi kelompok-kelompok fanatik yang radikal dan fundamentalis, seperti kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang hidup dalam keberagaman dan ke-bhinekaan , hingga dengan mudahnya tercemplung kedalam kesempitan cara berpikir yang disajikan sebagai suatu cara menuju kebenaran yang subjektif.
Intervensi dan pemaksaan terutama juga merasuk dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, pelebelan dan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok agama minoritas oleh kelompok mayoritas kerap dilakukan atas nama penyeragaman. Hal tersebut membuat salah seorang anggota Komnas-HAM yang juga merupakan tokoh Muhamadyah, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa pertemuan sering mengungkapkan pertanyaan terkait dengan pemaksaan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu, “Mengapa orang yang mengaku beragama tetapi kurang perduli terhadap orang yang berbeda agama ?”. Menurut pandangannya pula keaneka-ragaman adalah keindahan yang justru dapat dipakai sebagai alasan kuat untuk selalu berendah hati.
Apabila kita mau melihat kembali, Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau yang dipisahkan oleh laut, sedikit banyak telah menjadi ladang subur bagi kekayaan hayati, hewani, mineral, tradisi budaya, bahasa dan etnis suku bangsa. Berbagai macam keyakinanpun tumbuh ditengah-tengah masyarakat yang haus akan identitas dirinya sebagai manusia yang berakal budi dan berbudaya. Menurut data yang dimiliki oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, sedikitnya terdapat 245 aliran kepercayaan (di luar agama import) yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan BPS (Badan Pusat Statistika) mencatat sepanjang ribuan pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, tersebar 1.128 etnis suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara ini.
Sejatinya Indonesia ini adalah sebuah kesatuan teritorial yang terdiri dari beraneka ragam kekayaan etnis suku bangsa, tradisi budaya, bahasa dan keyakinan didalamnya. Ke-bhinekaan yang terdapat disepanjang jejeran kepulauan nusantara ini adalah anugrah yang diberikan tuhan bagi bangsa Indonesia, yang sudah terkandung dalam rahim bangsa ini, bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini terbentuk. Dan karna kekayaan etnis suku bangsa, tradisi budaya, bahasa dan keyakinan itulah sejarah kita dimulai, hingga pada akhirnya keaneka-ragaman itulah yang membentuk bangsa Indonesia.
Lagi-lagi hal ini menunjukan kepada kita, bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terbiasa hidup dalam berbagai keaneka-ragaman di dalamnya. Masyarakat Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun lalu selalu hidup berdampingan dengan damai, tanpa mempermasalahkan status etnis suku bangsa, ras, bahasa, agama dan keyakinan yang menempel pada diri mereka. Ke-bhinekaan yang Tunggal Ika seperti yang tertulis dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad ke 14, merupakan identitas asli bangsa ini yang sudah tertanam sejak lama dalam pribadi setiap rakyatnya. Sebuah identitas suatu bangsa yang berdiri diatas keaneka-ragaman yang mungkin tidak akan kita jumpai pada belahan dunia manapun.
Di dalam Bhineka Tunggal Ika pula terdapat sejarah panjang bangsa ini. Sejarah akan sebuah bangsa yang berdiri diatas tanah yang pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu, Budha, Islam, Portugis, Inggris, Spanyol, Jepang dan Belanda. Tentunya semua itu mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam budaya, bahasa, agama dan keyakinan dll. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dari masyarakat yang berkepercayaan dinamisme dan animisme hingga menjadi penganut agama-agama import bawaan saudagar-saudagar china, timur tengah, dan barat, juga semakin memperkaya bangsa ini dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan sosial maupun teologi. Perlahan demi perlahan toleransi antar umat beragamapun berkembang pada masyarakat Indonesia, seiring dengan semakin derasnya ajaran-ajaran agama baru yang meng-invasi Indonesia.
Berbagai fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beraneka-ragam entis suku bangsa, tradisi budaya, bahasa, agama dan keyakinan memang menuntut toleransi sebagai sebuah tindakan yang terpenting dalam mempertahankan kesatuan bangsa ini. Keadilan sosial yang sedianya merupakan cita-cita kita dalam berbangsa dan bernegara tak akan pernah terwujud tanpa adanya toleransi antar masyarakatnya sendiri. Menjadi manusia Indonesia sendiri berarti menjadi manusia yang harus sanggup hidup dalam perbedaan dan bersikap toleran. Bersikap toleran berarti bisa menerima perbedaan dengan lapang dada, dan menghormati hak pribadi dan sosial pihak yang berbeda (The Other) menjalani kehidupan mereka. Inilah prasyarat mutlak yang harus dimiliki setiap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari suatu bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsanya sendiri.
Toleransi yang tumbuh diantara masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai etnis suku bangsa, tradisi budaya, bahasa, agama dan keyakinan ini menjadi obat penawar bagi terus terjaganya kehidupan yang damai dan kerukunan di Indonesia. Selama berpuluh-puluh tahun pula, toleransi menjadi pemersatu dan penjaga bagi ke-bhinekaan di Indonesia. Tanpa toleransi bangsa ini mungkin tak akan pernah menjadi bangsa besar yang diakui dunia internasional seperti sekarang ini, tanpa toleransi juga masyarakat Indonesia mungkin tak akan pernah menjadi sebuah kesatuan yang hidup dalam kedamaian. Besarnya sikap toleransi diantara masyarakat Indonesia sudah terbukti dengan hidup, lahir, tumbuh, dan berkembangnya berbagai sistem budaya, ekonomi, dan agama yang tumbuh subur di negri ini. Maka tak heran jika kemudian Indonesia merupakan tujuan utama para misionaris yang membawa kepercayaan serta keyakinan dari negrinya untuk disebarkan ditanah air kita ini.
Masyarakat Indonesia yang memang sudah cukup lama mengenal toleransi sebagai prasyarat menjadi manusia Indonesia yang hidup dalam keaneka-ragaman dan ke-bhinekaan. Dalam beberapa kasus bahkan sikap toleransi tersebut menjadi unsur penting dalam melakukan berbagai jenis kegiatan didalam masyarakat. Sikap toleransi juga kerap ditunjukan dalam wacana pembangunan bangsa ini, sebagai contoh; jika salah satu kelompok agama hendak membangun rumah ibadah misalnya, kelompok yang lain dari agama yang berbedapun tak akan ragu untuk ikut membantu pembangunan rumah ibadah tersebut. Bahkan dalam pembangunan masjid raya Istiqlal di Jakarta, tercatat nama Friedrich Silaban, seorang penganut Kristen Protestan yang taat, kelahiran Bonandolok, Sumatra Utara, sebagai arsitek dari masjid Istiqlal tersebut. Maha-karyanya kini merupakan simbol dari kebesaran agama islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Ke-bhinekaan dan toleransi yang memang sudah mengakar pada masyarakat Indonesia ini jugalah yang telah melahirkan berbagai sistem etika, moral, budaya, ekonomi dan berbagai aspek yang tentunya bersentuhan langsung dengan kehidupan bermasyarakat. Berbagai nilai-nilai luhur yang lahir dari kearifan dan kebijaksanaan yang terus diadopsi bangsa ini sebagai salah satu pondasi berkehidupan yang damai dalam keberagaman dan ke-bhinekaan. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang lebih mengedepankan kepentingan bersama dari pada kepentingan kelompok atau individu, terus terjalin hingga membentuk sebuah sistem berkehidupan dengan kearifan lokal sebagai prasyaratnya, dan merupakan sebuah warisan yang harus dijaga demi keberlangsungan kehidupan yang damai dalam keberagaman dan ke-bhinekaan sebagai anugrah dari Tuhan YME.
Pasca reformasi 1998, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan berbagai menu baru. Demokrasi, HAM dan Pluralisme menjadi sebuah tantangan bagi masyarakat Indonesia, setelah 32 tahun terpasung dalam rezim militeristik orde baru yang otoriter. Masyarakat diajak kembali kritis terhadap lingkungan disekitarnya, termasuk dalam kebijakan pemerintah dan berbagai isu-isu keberagaman yang selama ini hanya sebatas bisik-bisik tetangga saja. Semua informasi yang dahulu dibatasi, kini menjadi kepentingan publik untuk mengetahuinya. Berbagai kelompok masyarakat barupun mulai terbentuk seiring dengan lahirnya jaminan atas hak-hak sipil dan politik. Masyarakat kini dihidangkan dengan kebebasan, yang dahulu hanya merupakan impian.
Berbagai proses menuju demokratisasi pun dilakukan. Penegakan supermasi hukum dan HAM, serta penanaman kembali sifat-sifat pluralisme sebagai bentuk konsekuensi dari ke-bhinekaan, menjadi topik yang hangat dalam berbagai diskusi untuk membangun kembali bangsa Indonesia. Pijakan-pijakan baru dalam menata kembali kehidupan bermasyarakat di Indonesia mulai diletakan, seiring dengan dimulainya babak baru demokratisasi bangsa ini. Hal ini sudah barang tentu tak hanya akan membawa perubahan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia, tetapi juga telah membawa sebuah tantangan baru bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Tantangan untuk menerima kembali berbagai perbedaan-perbedaan yang pada masa Orde Baru telah ditelan mentah-mentah dengan sifat militerismenya yang monolitik.
Pada masa ini pula kemudian hadir berbagai kelompok-kelompok lama maupun baru yang mencoba menunjukan kembali eksistensi mereka. Hal ini tak terlepas dari proses demokratisasi itu sendiri, yang mewajibkan jaminan atas hak sipil dan politik bagi setiap warga negaranya. Sebagai konsekuensinya ialah, hadirnya pressure yang kuat dalam masyarakat untuk membentuk kelompok mereka sendiri, hal ini disebabkan terutama karena meningkatnya rasa kerentannan dalam setiap individu bila mereka tidak berkelompok, disamping beberapa sebab lainnya (seperti adanya kesamaan nasib, faktor ekonomi, motif politik dll). Tentunya hal tersebut bukan tidak membawa berbagai efek dalam masyarakat, berbagai potensi-potensi konflikpun tercipta bersamaan dengan terbentuknya kelompok-kelompok tersebut.
Tangtangan terbesar yang kemudian lahir ialah untuk menghilangkan budaya-budaya kekerasan yang selama Orde Baru berkuasa terus ditanamkan oleh rezim militerismenya yang memang sangat menyanjung kekerasan sebagai bentuk kontrol terhadap kehidupan bermasyarakat. Bagaimana kemudian kekerasan tersebut terus diadopsi oleh masyarakat Indonesia dan menggulung setiap perbedaan-perbedaan yang hadir sebagai konsekuensi dari sebuah bangsa yang ber-bhineka, yang sejatinya juga merupakan identitas sekaligus alat ikat bangsa Indonesia. Dalam proses ini, masyarakat diajak kembali menghayati hakikat bangsa ini yang berke-bhinekaan dan menerima ke-bhinekaan tersebut sebagai alasan dasar lahirnya bangsa Indonesia. Masyarakat ditantang untuk memutus rantai-rantai kekerasan yang selama ini membelenggu mereka dan menggulung mereka yang dianggap berbeda.
Kekerasan Bukan Jawaban
Selama 32 tahun, rezim Orde Baru telah betul-betul merubah kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Sifat-sifat Orde Baru yang militeristik telah tumbuh dan mengakar dalam dalam setiap sendi kehidupan di Indonesia, baik dalam ranah sosial-politik hingga ideologis. Masyarakat terus dijejali dengan berbagai karakter dan nilai-nilai militeristime sebagai alat ikat bangsa. Perasaan pentingnya persatuan dalam ke-bhinekaan yang sejatinya merupakan alasan dasar kita menjadi bangsa Indonesia, namun pada masa Orde Baru ternyata ke-bhinekaan tersebut justru dianggap sebagai sebuah ancaman yang terus merongrong kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan Sifat meliteristiknya yang monolitik, terpusat dan penyanjung utama tindak kekerasan, telah memaksa kita untuk sama dan menghilangkan nilai-nilai ke-Bhinekaan yang dianggapnya sebagai ancaman.
Selama itu pula Orde Baru telah menciptakan lingkungan yang monolitik, yang tidak mengenal dalam dirinya sifat oposan bahkan kompetisi terbuka. Dalam konteks ini termasuk pula penolakan terhadap semua bentuk perbedaan perspektif dan ideologis. Segala bentuk realitas heterogen diingkari. Hal ini telah melahirkan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan yang ada. Perbedaan baik itu agama, ras, etnis, adalah sesuatu yang demikian melahirkan perbedaan berat, bahkan kecurigaan yang kehilangan rasionalitas. Berbagai konflik dan faktor disintegrasi yang demikian luas adalah cermin dari perang identitas kelompok yang mengingkari bahwa perbedaan itu ada dan sah adanya. Pendakalan nilai-nilai pengikat bangsa pun terjadi didalam masyarakat, ke-bhinekaan kembali lagi menjadi tumbal atas sebuah kekuasaan otoriter berbasis milititerisme.
Bahkan setelah runtuhnya rezim Orde Baru itupun, tak serta merta menghilangkan sifat dan nilai-nilai militerisme yang telah lama ditanamkannya. Sifat ini ternyata masih terus diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia dengan segala kesadarannya, masih menangkap perbedaan sebagai sebuah faktor yang tak lazim, bahkan penuh kecurigaan. Pendangkalan nilai-nilai pemersatu dan alat ikat bangsapun terus terjadi, seiring timbulnya kecurigaan-kecurigaan tersebut. Kekerasan yang tadinya dilihat sebagai penyimpanganpun diabsahkan, penggunaannya kini dianggap sebagai pembenaran atas nama penyeragaman dan sebuah upaya menjaga integritas nasional. Masyarakat indonesia menjadi masyarakat yang apatis terhadap perbedaan dan keberagaman, intoleransi terhadap perbedaan dan keberagamanpun tumbuh sebagai buah dari apatisme masyarakat.
Kekerasan dengan segala bentuknya terus menggulung rakyat bangsa ini. Ke-bhinekaan yang sejatinya merupakan alat ikat bangsapun tersapu oleh badai kekerasan yang terus melanda Indonesia. Hak-hak minoritas kian terabaikan, mereka masih terus dihantui iblis kekerasan tersebut. Bahwasanya keruntuhan tirani Orde Baru juga tak serta merta membawa perubahan bagi kelompok-kelompok minoritas di bangsa ini. Tirani tersebut berganti rupa menjadi tirani mayoritas yang masih sama kejamnya dan sedikitpun memberi ruang bagi ke-bhinekaan. Sebuah kenyataan pahit, bahwa ke-bhinekaan itupun telah diperkosa dua kali oleh bangsa ini, pertama oleh tirani penguasa pada masa Orde Baru, dan yang kedua kalinya oleh tirani mayoritas yang masih berlangsung hingga hari ini. Maka kini pertanyaannya adalah, apakah masih perlu kita mempersatukan diri sebagai bangsa Indonesia ? kemudian, masih pantaskah kita menyebut ke-bhinekaan tersebut sebagai alat pemersatu bangsa ini sebagai mana alasan utama kita bersatu dahulu ?
Tentunya kekerasan bukanlah jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kekerasan hanya akan membawa bangsa ini jauh kedalam disitegrasi bangsa dan perang kepentingan. Kekerasan tersebutlah yang juga akan menjadi penghalang bagi bangsa ini menuju sebuah bangsa yang demokratis. Sudah saatnyalah bagi masyarakat dan bangsa ini untuk mengesampingkan kekerasan dan lebih menggunakan cara-cara yang demokratis dalam menyikapi perbedaan. Penanaman kembali sifat-sifat toleransi dan kearifan lokal menjadi suatu kebutuhan yang tak terelakan lagi bagi masyarakat bangsa ini. Masyarakat haruslah kembali sadar akan identitasnya sebagai bagian dari sebuah bangsa yang berke-bhinekaan.
Inilah sebuah negri dimana semua bentuk keberagaman terdapat di dalamnya, berbagai macam etnis suku bangsa, tradisi budaya, bahasa, agama dan keyakinan hidup bersama dan saling berdampingan. Di negri inilah keberagaman itu lahir, tumbuh dan berkembang dan memutuskan dirinya sebagai satu kesatuan yang utuh, dengan keberagaman dan ke-bhinekaan sebagai alat ikatnya. Maka sudah seharusnya bagi masyarakat negri ini untuk selalu menjaga keutuhan bangsanya. Dengan mengembangkan sikap-sikap toleransi dan kearifan lokal sebagai syarat utama pencapaian berkehidupan yang rukun dan harmonis dalam sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang heterogen. Perbedaan perspektif, pandangan, cara hidup dan keyakinan seharusnya menjadi alat ikat yang kuat bagi bangsa ini, bukan harus diakhiri dengan konflik dan kekerasan atas nama keseragaman. Karna dengan perbedaan-perbedaan itulah maka akan tercapai cita-cita bangsa ini yang berkeadilan sosial.
Setidaknya, menurut Romo Franz Magnis Suseno yang juga merupakan seorang tokoh rohaniawan Katholik, masalah-masalah ke-bhinekaan mencakup tiga hal; masyarakat, tokoh dan negara. Dari sisi Masyarakat dan Ketokohan, bahwa tradisi yang ramah adalah pondasi penting yang telah dimiliki masyarakat Indonesia. Fakta akhir-akhir ini, tak lepas dari kodrat manusia yang memang sempit, sesuatu yang belum diketahui menjadi dicurigai. Lebih jauh, perubahan dan persaingan menjadikan orang lebih mudah untuk tidak toleran. Ketakutan akan ketertinggalan dan oleh karenanya ketertindasan menjadi pemicu menurunnya tingkat toleransi. Oleh karenanya masyarakat perlu dibantu, baik oleh panutan maupun negara untuk kembali menumbuhkan sikap-sikap toleransi dalam masyarakat yang belakangan hari ini mulai tergeser dari tempatnya(Red.Kompas).
Kini sudah waktunya masyarakat Indonesia kembali kepada identitas bangsanya, berke-bhinekaan yang tunggal ika. Menjadi masyarakat Indonesia, berarti juga menjadi masyarakat yang harus mampu hidup dalam perbedaan dan keberagaman serta meninggalkan kepentingan-kepentingan individu atau kelompoknya. Masyarakat Indonesia seharusnya bangga menjadi bagian dari sebuah bangsa yang terdiri dari begitu banyak keberagaman didalamnya. Menjadi bagian yang tak terpisahkan sebagai sebuah kesatuan dari berbagai keberagaman etnis suku bangsa, tradisi budaya, bahasa, agama dan keyakinan sebagai sebuah kekeyaan dan anugrah Tuhan YME terhadap bangsa ini. Dan atas keberagaman itulah bangsa ini ada, cita-cita untuk mempersatuakan diri itu lahir, dan bukan dari keseragamanlah sejarah bangsa ini dimulai.MAS
Catatan Akhir
1. Jhon F Sinaga. 2009. Bhineka Tunggal Ika Hanya Milik Indonesia: Analisa politik, salah satu panitia kedatangan Presiden Obama. Jakarta: ANBTI, 2009
2. Amir Hasan Buchori. 2010. Kebhinekaan Adalah Sebuah Keniscayaan: Sebuah resume tentang diskusi publik oleh KPAA di Jakarta Media Center pada 7 Juni 2010. Jakarta: Kompas, 2010
3. Munir Said Thalib. 2002. Membangun Bangsa, Menolak Militerisme: Jejak Pemikiran Munir 1965-2004. Jakarta. Kasum, 2006
4. Usman Kansong. 2011. Media Merayakan Keberagaman: Materi dalam workshop tentang keberagaman yang diadakan oleh Sejuk pada 25-27 Maret 2011. Jakarta, Sejuk 2011
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar